Bisakah kaya dari menjadi penulis? Inilah pertanyaan yang dibedah
dalam seminar nasional “Writerpreneurship: Menjadi Penulis Best Seller”
yang digelar oleh Sekolah Penulis Yogya (SPY) di Gedung Tiga Serangkai,
Condong Catur Yogyakarta, Sabtu lalu (24/10). Para pembicara M Fauzil
Adhim (penulis buku best seller Kupinang Engkau dengan Hamdalah), Jonru (pemilik situs penulislepas.com),
dan Siswanto (Penerbit Tiga Serangkai Solo) mampu membuat peserta
menjadi terbuka wawasannya akan begitu pentingnya menulis dan dari sisi
ekonomi ternyata juga cukup menjanjikan.
Menurut Fauzil Adhim, menulis dapat menjadi profesi yang memberikan
standar kesejahteraan lebih. Dengan catatan, harus total dan
profesional. Dalam artian, jika seseorang bisa menulis sesuatu yang
penting dan bermanfaat serta dikemas dengan bahasa cair, renyah, mudah
diterima masyarakat luas maka peluang untuk mendapatkan royalti besar
bukanlah hal yang tak mungkin.
“Sudah banyak contoh penulis yang kaya dan sejahtera karena tulisan-tulisannya. Habiburrahman Elshirazy misalnya, dari novel Ayat-Ayat Cinta,
mendapatkan royalti lebih dari Rp 1,2 miliar. Emha Ainun Nadjib,
buku-bukunya laris manis bak kacang goreng sehingga royaltinya pun cukup
lumayan dan banyak penulis lainnya seperti Asma Nadia, Helvy Tiana
Rossa, Joni Ariadinata,” paparnya.
Dia sendiri yang menulis novel Kupinang Engkau dengan Hamdalah,
sudah cetak ulang ke-26 dengan sekali cetak minimal 10.000 eksemplar.
Bayangkan, harga buku Rp 20.000 sedangkan royaltinya 10%, tinggal
menghitung saja totalnya. Dengan menulis dia dapat mencukupi kebutuhan
hidup dan menabung.
Di depan peserta seminar Fauzil mengatakan, untuk
menjadi penulis buku yang berhasil dibutuhkan sejumlah prasyarat antara
lain fokus atau setia pada satu bidang kajian karena itu menyangkut personal branding
atau kepakaran dalam satu masalah. Selanjutnya, menulis sesuatu yang
penting dalam buku sehingga dibutuhkan dan dijadikan rujukan banyak
orang.
“Jangan sampai hanya menjadi buku sampah yang tidak memberikan makna
apa pun kepada pembaca. Buku yang isinya penting dan kajiannya fokus
harus dikemas dalam bahasa yang renyah serta kemasan menjual. Kalau
semua persyaratan itu terpenuhi maka tak sulit untuk menjadikan buku
kita marketable,” tandasnya.
Siswanto dari Penerbit Tiga Serangkai menambahkan, ada dua sistem
yang selama ini dipakai untuk memberi penghargaan kepada para
penulisnya.
Pertama, dengan sistem royalti, honorarium dibayarkan sesuai jumlah
buku yang terjual per tiga atau enam bulan. Berikutnya sistem beli
putus.
Sejauh ini pihaknya masih terus mencari naskah-naskah dari penulis
luar yang bersifat buku teks, panduan, agama, dan aneka tema lainnya.
Yang mengirim naskah banyak, namun yang isinya benar-benar
berkualitas masih sedikit. Karena itu, peluang menjadi penulis masih
sangat terbuka.
Istilah writerpreneurship pertama kali muncul dari Pak Bambang Trim,
seorang praktisi penulisan dan perbukuan tanah air. Menurut beliau,
writerpreneurship adalah sekumpulan hasrat (passion), ide, dan juga
kecakapan melihat peluang dunia tulis menulis.
Setengah berkelakar, beliau menjelaskan
bahwa writerpreneur merupakan seorang penulis yang mampu mengubah kertas
satu rim seharga Rp30.000 menjadi kertas berisi tulisan seharga
Rp30.000.000.
Istilah tersebut kemudian digunakan oleh Dwi Suwiknyo sebagai judul untuk buku yang ditulisnya.