Selasa, 23 Mei 2023

GELAP

            Lagi dan lagi.

Jadwal kunjungan Reno ke rumah sakit setiap hari rabu terus berulang. Dimulai sejak beberapa bulan yang lalu—saat hobi balap liarnya hampir saja merenggut nyawanya. Ia selamat dari maut meskipun harus kehilangan penglihatannya.

Tentu saja. Ini adalah mimpi buruk bagi Reno. Bukan satu-dua kali ia pernah mencoba bunuh diri. Kalau saja Ayahnya tidak mencegah dan menyemangatinya bahwa akan selalu ada donor mata untuknya serta tangis Ibunya yang memohonnya untuk tetap hidup—Reno mungkin hanya tinggal nama saat ini.

Rumah Sakit Khusus Mata di Cicendo—Bandung ini selalu menyuguhinya perasaan yang sama. Setengah dirinya menerima kenyataan itu dan setengahnya lagi menyangkalnya.

Siang itu Reno sedang terkantuk-kantuk di bangku ruang tunggu ketika seorang laki-laki yang duduk di sampingnya berdehem dan terbatuk-batuk.   

“Anak muda, bisakah kau tolong aku?” Suara berat dan dalam milik laki-laki itu menyentakkan Reno dari posisinya yang bersandar di kursi.

”Tolong apa ya, Pak?” Jawab Reno acuh tak acuh.

”Aku merasa sesak nafas tapi dari tadi aku tidak juga menemukan obatku. Bisakah kau membantu aku mencarikannya dalam tas ini.”

Reno bisa merasakan sebuah benda menyentuh pahanya. Sepertinya tas milik laki-laki itu disodorkan kepadanya.

”Apa ini?” Reno memalingkan wajah dan menelengkan kepalanya ke kanan meski ia tahu ia tidak akan bisa melihat laki-laki itu. ”Aku tidak bisa membantumu, Pak Tua.” Reno mendengus kesal.

”Kenapa?” Seru laki-laki itu. ”Tenang saja. Tidak ada barang berharga di dalamnya.”       

”Sama saja. Aku tetap tidak bisa membantumu karena aku tidak bisa melihat. Mengerti!” Nada bicara Reno bercampur emosi.

Dari tangkapan inderanya yang masih berfungsi, Reno tahu hanya ada dia dan Bapak Tua itu di ruang tunggu. Ia hanya ingin memastikan. Setidaknya ia tidak perlu khawatir akan ada orang yang melabraknya karena ketidaksopanannya.

”Maafkan aku anak muda. Aku tidak tahu kondisimu,” ujar laki-laki itu dengan rendah hati.

Reno menghela nafas dalam. ”Bapak pikir untuk apa saya ada disini.” Egonya mulai melemah karena permintaan maaf laki-laki itu.

”Apakah kau akan dioperasi?”

”Tidak. Saya hanya konsultasi rutin. Bapak sendiri?”

”Aku mendapatkan donor mata. Hari ini mereka akan menentukan jadwal operasinya,” sahut laki-laki itu.

”Selamat ya, Pak. Saya iri dengan Bapak. Bapak sungguh beruntung,” ungkap Reno.

”Tidak seperti yang kau bayangkan, nak.”

Laki-laki itu menahan kata-katanya dan berdehem keras seolah dengan begitu tenggorokannya akan terasa lega. Reno sudah ingin bertanya namun niatnya terpaksa diurungkan karena laki-laki itu bicara lagi.

Sudah lama?” tanyanya.

”Apanya yang sudah lama? Cetus Reno.

”Kebutaanmu?”

”Belum lama. Sejak dua bulan yang lalu.”

 Hening.

Mereka sama-sama membisu selama beberapa menit. Laki-laki itu masih sibuk mencari obat pereda sesak nafas di dalam tas kumalnya. Sementara Reno hanya berdiam diri dan gelisah dengan kesendiriannya.     

Ketika laki-laki itu sudah menemukan obat yang dimaksud dan menenggaknya dengan sekali tegukan, ia berkata lagi. “Sadarkah kau bahwa kau lebih beruntung dari aku?”

“Dalam hal apa?” tanya Reno ketus.

“Kau sudah pernah melihat sebelumnya” Laki-laki itu menahan kata-katanya. ”Lalu kau tak bisa melihat lagi karena kesalahanmu sendiri.”

”Memangnya kenapa kalau begitu? Sekarang aku buta. Itu kenyataannya,” nada bicara Reno berubah sinis.

“Bandingkan denganku! tegas laki-laki itu. ”Aku terlahir buta dan semua adalah takdir Maha Kuasa. Bisakah aku menyalahkan sang pencipta?” seru laki-laki itu retoris. ”Lama sekali hingga akhirnya aku tahu bahwa orang-orang sepertiku memang sengaja diciptakan.”

 ”Maksud Bapak?” Reno yang sedari tadi mengabaikan laki-laki itu tiba-tiba tertarik dengan pernyataannya.

”Kalau tidak ada orang-orang seperti aku, maka banyak manusia yang tidak menyadari bahwa mata, telinga, mulut, dan indera lainnya yang mereka miliki begitu berharga sehingga harus dipergunakan dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya orang-orang seperti aku, mereka yang normal bisa belajar bahwa ketidaksempurnaanlah yang menjadikan hidup ini indah. Karena dengan berbagi manusia bisa merasakan esensinya di dunia ini.”

”Mungkin orang lain bisa begitu. Tapi aku sendiri tidak merasa ada hal baik yang kudapatkan karena aku tidak bisa melihat.”

”Begitukah? Kau yakin?”

”Tentu saja.” Reno terganggu dengan pernyataan itu.

Laki-laki itu menggumam. ”Baiklah. Coba jawab aku? Sejak kau tidak bisa melihat, indera apa yang kau andalkan.”

”Mmm...pendengaran...penciuman...” Jawab Reno ragu-ragu. ”Instingku juga menjadi lebih tajam. Kadang aku seperti melihat terang di dalam gelap.” Reno berfilosofi.  

”Apakah kau mendapatkan perhatian lebih dari kedua orangtuamu?”

Reno mengernyitkan dahi. ”Iya. Sekarang hampir setiap hari mereka ada di rumah. Dulu bisa ketemu sebulan sekali juga sudah bagus.”

“Apakah ada sikap teman-temanmu yang berubah?”

”Ya...beberapa orang memang berubah. Mereka sulit sekali kalau dimintai tolong tapi masih ada seorang sahabat yang setia.”

”Bagaimana dengan pacarmu?”

Reno terhenyak. Ia sebenarnya tidak suka pertanyaan seperti ini datang dari orang yang tidak dikenalnya—ralat—baru dikenalnya—tapi ia jawab juga pertanyaan itu.

”Dia meninggalkan aku.” Reno menggigit bibirnya. ”Tapi beberapa minggu berikutnya datang seorang gadis sederhana yang memberikan perhatian dengan tulus. Seseorang yang kucampakkan di masa lalu.”

“Apa hal-hal tersebut tidak bisa dianggap baik?” Laki-laki itu bicara sambil duduk dengan tangan bertumpu pada tongkatnya. ”Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian bagi yang siapapun yang berusaha mencari tahu,” serunya lagi.

Reno mengetukkan jarinya ke bangku tanda ia sedang gelisah. ”Meski begitu, aku seringkali berharap. Seandainya aku lebih berhati-hati, seandainya mereka tidak menyalip mobilku. Seandainya...

Laki-laki itu memotong perkataan Reno. ”Tidak ada gunanya meratapi yang sudah terjadi. Karena waktu tak akan bisa diputarbalikkan.”

”Tapi berandai-andai adalah cara yang paling ampuh untuk meredakan perasaan marahku,” bantah Reno.

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Dalam hidup ini kita tidak hanya perlu terampil memilih tapi juga memilah. Kadangkala kau harus lebih sering menundukkan kepalamu dan melihat ke bawah sehingga kau dapat menemukan bahwa kau berkali-kali lebih beruntung. Kau mungkin kehilangan penglihatanmu tapi kau masih punya keluarga, kehidupan yang berkecukupan, dan juga masa depan.”

Reno mengangguk mengamini perkataan laki-laki itu. ”Memang. Sayangnya merasa cukup itu sulit tapi menginginkan lebih itu mudah.”

”Maka lihatlah aku, nak.” Laki-laki itu terbatuk-batuk lagi. ”Aku ini tua, sebatang kara, penyakitan, tapi aku masih punya harapan yang membuatku bertahan hidup. Aku ingin dapat melihat. Meskipun itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya,” ungkap laki-laki tua itu sendu.      

”Kenapa Bapak datang sendiri? Istri Bapak? Anak Bapak? Apakah tidak ada yang mengantar Bapak?” Reno memberondong laki-laki tua itu dengan pertanyaan.

”Istriku sudah lama meninggal.” Suara laki-laki itu seketika berubah lirih. ”Dan anakku baru saja menyusul Ibunya dua bulan yang lalu meninggal karena ditabrak mobil. Mata yang akan didonorkan kepadaku adalah matanya. Ironis bukan!” Kini tangis terdengar dalam setiap kata yang terucap oleh laki-laki itu.

”Saya turut bersedih, Pak. Semoga Bapak diberikan kekuatan.” Reno menyentuh pundak laki-laki tua itu dan mengusapnya perlahan. ”Lalu bagaimana dengan si penabrak? Apa dia tidak bertanggung jawab?”

”Orang yang menabrak anak saya itu juga terluka parah. Tapi sepertinya orang-orang lebih mempedulikan pemuda kaya itu daripada anak saya yang cuma pedagang asongan.”

 ”Pemuda itu harus bertanggung jawab, Pak. Bagaimanapun kondisinya.”

”Tentu saja.” Laki-laki itu berdehem lagi. ”Jika nanti mataku bisa melihat maka pemilik mobil sedan dengan plat R 3 NO adalah hal yang ingin kulihat untuk pertama kalinya. Seseorang yang membantu mengurus mayat anakku yang mengatakannya. Aku sungguh ingin membuat perhitungan dengannya,” sahut laki-laki tua itu dengan penuh keyakinan.

Suara perawat yang memanggil laki-laki tua itu memotong pembicaraan mereka.

”Saya masuk dulu, Nak. Senang bicara denganmu. Sampai bertemu lagi.” Laki-laki itu menepuk lengan Reno sebelum menghampiri perawat yang memanggilnya.

Reno mengangguk lalu menelan ludah. Sepeninggal laki-laki tua itu, ia berpikir keras. Mungkin saja ada beberapa mobil dengan plat nomor kendaraan yang mirip dengannya. Tapi Reno sangat yakin di Bandung ini, hanya dia yang menggunakan plat nomor kendaraan yang sesuai dengan namanya itu.

Seketika Reno merasa pusing. Kegelapan yang dirasakannya menjadi semakin pekat. Tak ia temukan lagi terang dalam gelapnya. Ia hanya bisa merasakan kegelapan menariknya semakin dalam.

*Terbit di Tribun Jabar, 9 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SINGKAWANG : KOTA TERTOLERAN

               Please free to read and download thisbook ^_^                               https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?i...