Lagi dan lagi.
Jadwal kunjungan Reno ke rumah sakit setiap hari rabu terus berulang. Dimulai sejak beberapa bulan yang lalu—saat hobi balap liarnya hampir saja merenggut nyawanya. Ia selamat dari maut meskipun harus kehilangan penglihatannya.
Tentu saja. Ini adalah mimpi
buruk bagi Reno. Bukan satu-dua kali ia pernah mencoba bunuh diri. Kalau saja
Ayahnya tidak mencegah dan menyemangatinya bahwa akan selalu ada donor mata
untuknya serta tangis Ibunya yang memohonnya untuk tetap hidup—Reno mungkin hanya
tinggal nama saat ini.
Rumah Sakit Khusus Mata di
Cicendo—Bandung ini selalu menyuguhinya perasaan yang sama. Setengah dirinya
menerima kenyataan itu dan setengahnya lagi menyangkalnya.
Siang itu Reno sedang
terkantuk-kantuk di bangku ruang tunggu ketika seorang laki-laki yang duduk di
sampingnya berdehem dan terbatuk-batuk.
“Anak muda, bisakah kau tolong
aku?” Suara berat dan dalam milik laki-laki itu menyentakkan Reno dari posisinya
yang bersandar di kursi.
”Tolong apa ya, Pak?” Jawab
Reno acuh tak acuh.
”Aku merasa sesak nafas tapi
dari tadi aku tidak juga menemukan obatku. Bisakah kau membantu aku
mencarikannya dalam tas ini.”
Reno bisa merasakan sebuah
benda menyentuh pahanya. Sepertinya
tas milik laki-laki itu disodorkan kepadanya.
”Apa ini?” Reno memalingkan
wajah dan menelengkan kepalanya ke kanan meski ia tahu ia tidak akan bisa
melihat laki-laki itu. ”Aku tidak bisa membantumu, Pak Tua.” Reno mendengus
kesal.
”Kenapa?” Seru laki-laki itu.
”Tenang saja. Tidak ada
barang berharga di dalamnya.”
”Sama saja. Aku tetap tidak
bisa membantumu karena aku tidak bisa melihat. Mengerti!” Nada bicara Reno
bercampur emosi.
Dari tangkapan inderanya yang
masih berfungsi, Reno tahu hanya ada dia dan Bapak Tua itu di ruang tunggu. Ia
hanya ingin memastikan. Setidaknya ia tidak perlu khawatir akan ada orang yang
melabraknya karena ketidaksopanannya.
”Maafkan aku anak muda. Aku
tidak tahu kondisimu,” ujar laki-laki itu dengan rendah hati.
Reno menghela nafas dalam.
”Bapak pikir untuk apa saya ada disini.” Egonya mulai melemah karena permintaan
maaf laki-laki itu.
”Apakah kau akan dioperasi?”
”Tidak. Saya hanya konsultasi
rutin. Bapak sendiri?”
”Aku mendapatkan donor mata.
Hari ini mereka akan menentukan jadwal operasinya,” sahut laki-laki itu.
”Selamat ya, Pak. Saya iri
dengan Bapak. Bapak sungguh beruntung,” ungkap Reno.
”Tidak seperti yang kau
bayangkan, nak.”
Laki-laki itu menahan
kata-katanya dan berdehem keras seolah dengan begitu tenggorokannya akan terasa
lega. Reno sudah ingin bertanya namun niatnya terpaksa diurungkan karena
laki-laki itu bicara lagi.
Sudah lama?” tanyanya.
”Apanya yang sudah lama? Cetus
Reno.
”Kebutaanmu?”
”Belum lama. Sejak dua bulan
yang lalu.”
Hening.
Mereka sama-sama membisu selama beberapa menit. Laki-laki itu masih sibuk mencari obat pereda
sesak nafas di dalam tas kumalnya. Sementara Reno hanya berdiam diri dan
gelisah dengan kesendiriannya.
Ketika laki-laki itu sudah
menemukan obat yang dimaksud dan menenggaknya dengan sekali tegukan, ia berkata
lagi. “Sadarkah kau bahwa kau lebih beruntung dari aku?”
“Dalam hal apa?” tanya Reno
ketus.
“Kau sudah pernah melihat
sebelumnya” Laki-laki itu menahan kata-katanya. ”Lalu kau tak bisa melihat lagi
karena kesalahanmu sendiri.”
”Memangnya kenapa kalau
begitu? Sekarang aku buta. Itu kenyataannya,” nada bicara Reno berubah sinis.
“Bandingkan denganku! tegas
laki-laki itu. ”Aku terlahir buta dan semua adalah takdir Maha Kuasa. Bisakah
aku menyalahkan sang pencipta?” seru laki-laki itu retoris. ”Lama sekali hingga akhirnya aku tahu bahwa
orang-orang sepertiku memang sengaja diciptakan.”
”Maksud Bapak?” Reno yang sedari tadi
mengabaikan laki-laki itu tiba-tiba tertarik dengan pernyataannya.
”Kalau tidak ada orang-orang
seperti aku, maka banyak manusia yang tidak menyadari bahwa mata, telinga,
mulut, dan indera lainnya yang mereka miliki begitu berharga sehingga harus
dipergunakan dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya orang-orang
seperti aku, mereka yang normal bisa belajar bahwa ketidaksempurnaanlah yang
menjadikan hidup ini indah. Karena dengan berbagi manusia bisa merasakan
esensinya di dunia ini.”
”Mungkin orang lain bisa
begitu. Tapi aku sendiri tidak merasa ada hal baik yang kudapatkan karena aku tidak bisa melihat.”
”Begitukah? Kau
yakin?”
”Tentu saja.” Reno
terganggu dengan pernyataan itu.
Laki-laki itu menggumam.
”Baiklah. Coba jawab aku? Sejak kau tidak bisa melihat, indera apa yang kau
andalkan.”
”Mmm...pendengaran...penciuman...”
Jawab Reno ragu-ragu. ”Instingku juga menjadi lebih tajam. Kadang aku seperti
melihat terang di dalam gelap.” Reno berfilosofi.
”Apakah kau mendapatkan
perhatian lebih dari kedua orangtuamu?”
Reno mengernyitkan dahi. ”Iya.
Sekarang hampir setiap hari mereka ada di rumah. Dulu bisa ketemu sebulan
sekali juga sudah bagus.”
“Apakah ada sikap
teman-temanmu yang berubah?”
”Ya...beberapa orang memang
berubah. Mereka sulit sekali kalau dimintai tolong tapi masih ada seorang
sahabat yang setia.”
”Bagaimana dengan pacarmu?”
Reno terhenyak. Ia sebenarnya
tidak suka pertanyaan seperti ini datang dari orang yang tidak
dikenalnya—ralat—baru dikenalnya—tapi ia jawab juga pertanyaan itu.
”Dia meninggalkan aku.” Reno
menggigit bibirnya. ”Tapi beberapa minggu berikutnya datang seorang gadis
sederhana yang memberikan perhatian dengan tulus. Seseorang yang kucampakkan di
masa lalu.”
“Apa hal-hal tersebut tidak
bisa dianggap baik?” Laki-laki itu bicara sambil duduk dengan tangan bertumpu
pada tongkatnya. ”Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian bagi yang siapapun
yang berusaha mencari tahu,” serunya lagi.
Reno mengetukkan jarinya ke
bangku tanda ia sedang gelisah. ”Meski begitu, aku seringkali berharap. Seandainya
aku lebih berhati-hati, seandainya mereka tidak menyalip mobilku. Seandainya...
Laki-laki itu memotong
perkataan Reno. ”Tidak ada gunanya meratapi yang sudah terjadi. Karena waktu tak akan bisa
diputarbalikkan.”
”Tapi berandai-andai adalah
cara yang paling ampuh untuk meredakan perasaan marahku,” bantah Reno.
Laki-laki itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Dalam hidup ini kita tidak hanya perlu terampil
memilih tapi juga memilah. Kadangkala kau harus lebih sering menundukkan
kepalamu dan melihat ke bawah sehingga kau dapat menemukan bahwa kau berkali-kali
lebih beruntung. Kau mungkin kehilangan penglihatanmu tapi kau masih punya
keluarga, kehidupan yang berkecukupan, dan juga masa depan.”
Reno mengangguk mengamini
perkataan laki-laki itu. ”Memang. Sayangnya merasa cukup itu sulit tapi
menginginkan lebih itu mudah.”
”Maka lihatlah aku, nak.”
Laki-laki itu terbatuk-batuk lagi. ”Aku ini tua, sebatang kara, penyakitan,
tapi aku masih punya harapan yang membuatku bertahan hidup. Aku ingin dapat melihat.
Meskipun itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya,” ungkap laki-laki tua itu
sendu.
”Kenapa Bapak datang sendiri?
Istri Bapak? Anak Bapak? Apakah tidak ada yang mengantar Bapak?” Reno memberondong laki-laki tua itu dengan pertanyaan.
”Istriku sudah lama
meninggal.” Suara laki-laki itu seketika berubah lirih. ”Dan anakku baru saja
menyusul Ibunya dua bulan yang lalu meninggal karena ditabrak mobil. Mata yang
akan didonorkan kepadaku adalah matanya. Ironis bukan!” Kini tangis terdengar
dalam setiap kata yang terucap oleh laki-laki itu.
”Saya turut bersedih, Pak.
Semoga Bapak diberikan kekuatan.” Reno menyentuh pundak laki-laki tua itu dan mengusapnya perlahan. ”Lalu
bagaimana dengan si penabrak? Apa dia tidak bertanggung jawab?”
”Orang yang menabrak anak saya
itu juga terluka parah. Tapi sepertinya orang-orang lebih mempedulikan pemuda
kaya itu daripada anak saya yang cuma pedagang asongan.”
”Pemuda itu harus bertanggung jawab, Pak.
Bagaimanapun kondisinya.”
”Tentu saja.” Laki-laki itu
berdehem lagi. ”Jika nanti mataku bisa melihat maka pemilik mobil sedan dengan plat
R 3 NO adalah hal yang ingin kulihat untuk pertama kalinya. Seseorang yang
membantu mengurus mayat anakku yang mengatakannya. Aku sungguh ingin membuat
perhitungan dengannya,” sahut laki-laki tua itu dengan penuh keyakinan.
Suara perawat yang memanggil
laki-laki tua itu memotong pembicaraan mereka.
”Saya masuk dulu, Nak. Senang bicara denganmu. Sampai bertemu
lagi.” Laki-laki itu menepuk lengan Reno sebelum menghampiri perawat yang
memanggilnya.
Reno mengangguk lalu menelan
ludah. Sepeninggal laki-laki tua itu, ia berpikir keras. Mungkin saja ada
beberapa mobil dengan plat nomor kendaraan yang mirip dengannya. Tapi Reno
sangat yakin di Bandung ini, hanya dia yang menggunakan plat nomor kendaraan
yang sesuai dengan namanya itu.
Seketika Reno merasa pusing.
Kegelapan yang dirasakannya menjadi semakin pekat. Tak ia temukan lagi terang
dalam gelapnya. Ia hanya bisa merasakan kegelapan menariknya semakin dalam.
*Terbit di Tribun Jabar, 9 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar