Selasa, 23 Mei 2023

CINTA DI KALA SENJA

 


                Bagas tertegun beberapa saat ketika kereta yang ditumpanginya dari Bandung memasuki Stasiun Tawang. Ia mengamati penumpang yang mulai berjalan keluar dari gerbong. Sengaja ia menunggu hingga penumpang gerbong berkurang setengahnya, baru setelah itu ia akan turun. Dengan usianya yang sudah 68 tahun, ia sadar diri bahwa dia tidak punya cukup energi untuk berdesak-desakan.

           Tangan Bagas bergerak perlahan untuk merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah foto yang sudah memudar warnanya. Foto yang disimpannya lebih dari tiga puluh tahun. Wajah yang terpampang di foto itu masih terlihat meskipun samar. Namun selebihnya sudah tak tersisa sesuatu yang dapat dipandang dari foto itu. Mata Bagas memanas dan basah saat jemarinya mengusap perlahan foto itu. Waktu ternyata tidak berhasil mengubur perasaannya.

           Keluar dari Stasiun Tawang, pemandangan Kota Lama terhampar di hadapannya. Bagas memutuskan untuk berjalan kaki karena jarak Kota Lama dari stasiun dapat dicapai dalam beberapa menit. Bangunan bergaya eropa dengan pintu dan jendela yang besar, kaca yang berwarna-warni, langit-langit yang tinggi, serta kubah yang artistik menyambut Bagas ketika ia mulai memasuki Kota Lama yang serupa dengan replika kota di negeri kincir angin itu. Meski bukan yang pertama kalinya, namun Bagas selalu terpesona dengan keindahan suasana tempo dulu yang bersanding dengan kemajuan pembangunan kota. Sebuah perpaduan yang unik yang perlu dipertahankan disaat ada beberapa daerah yang merombak total peninggalan sejarah dengan berbagai alasan.

           Bagas menghentikan langkahnya ketika Gereja Blenduk sudah berada beberapa meter di depannya. Bangunan yang dibangun pada Tahun 1700-an ini memiliki kubah berbentuk setengah bola sesuai dengan arti blenduk dalam Bahasa Jawa. Bagas mengamati keseluruhan bangunan gereja itu dan berdecak kagum. Di seberang gereja itu berdiri gedung tua yang dulu bernama NILLMIJ (Nederlandsch Indische Leven Sverzekering de Lifrente Maatschaapij) dan dikenal sebagai cikal bakal berdirinya PT. Asuransi Jiwasraya hingga sekarang.

           Decak kagumnya semakin bertambah ketika mendapati raut wajah yang tercetak di foto lusuhnya. Ia tidak banyak berubah. Kecantikannya abadi. Bagas bergegas menghampiri perempuan bergaun biru itu yang sedang duduk di bangku beton Taman Srigunting. Lokasi taman yang terletak di samping gereja itu menguatkan suasana Kota Lama. Bagas seolah berteleportasi ke masa lalu.

           ”Tyas.....” ucap Bagas hati-hati. ”Aku pikir kamu tidak akan datang.”

           Perempuan yang tadinya sedang menatap ke depan itu memalingkan wajahnya dan tersenyum lebar. ”Bagas.....” ujarnya dengan mata berbinar. ”Bagaimana mungkin aku tidak datang?” Tyas berkata lagi.

           Bagas dulunya hanyalah anak pegawai rendahan di perusahaan keluarga Tyas. Cinta mereka sempat bersemi namun tak bisa bersatu. Nasib memisahkan mereka dan menjadikan mereka menjalani takdir masing-masing. Kota Lama Semarang menyimpan banyak kenangan bagi mereka sekaligus saksi dua orang yang berevolusi dari anak-anak hingga dewasa. Tujuh tahun mereka berjuang dan akhirnya menyerah.

           Roda nasib mempertemukan mereka kembali saat keduanya menghadiri reuni di Semarang sebulan yang lalu. Tapi saat itu mereka harus kembali terpisah karena Bagas tinggal di Bandung dan Tyas tinggal di Surabaya. Mereka kemudian sepakat untuk bertemu lagi di Kota Lama hari ini.  

           ”Aku pikir aku hanya bisa bersatu denganmu di akhirat,” kata Tyas lirih.

           ”Tidak perlu sampai begitu. ”Bagas menggenggam jemari Tyas. ”Setelah ini kita akan mengikrarkan cinta kita. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”

           ”Apakah anak-anak dan cucu-cucu kita tidak akan keberatan dengan hal ini? Apakah kita tidak terlalu terlambat?” tanya Tyas khawatir.

           ”Kalau mereka tahu bahwa kita saling menyimpan cinta selama puluhan tahun, mereka pasti akan mengerti.” Bagas meyakinkan Tyas.

           Tyas mendongakkan wajah dan menatap Bagas penuh arti. ”Aku tidak muda lagi. Tubuhku sudah kendur disana-sini. Apa kau yakin kau bisa menerima itu?”

           Bagas tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Sepanjang usiaku, aku sudah mengenal banyak perempuan tapi belum pernah kutemukan seseorang yang membuatku tidak peduli akan penampilan fisiknya. Kamulah orang itu, Tyas. Hanya hatimu yang kuinginkan.”

           ”Menua tidak membuatmu berhenti menggombal ya.” Tyas mendaratkan cubitan di pinggang Bagas.

           Bagas mengaduh pelan lalu mengedipkan matanya ke arah Tyas. ”Tapi kamu suka kan?” Lengan Bagas terulur merengkuh Tyas dalam pelukannya. ”Di usia senja seperti ini, aku hanya membutuhkan seseorang untuk menemani hingga aku menutup mata. Bagiku hal yang paling menyedihkan adalah orang yang melewati akhir hayatnya sendirian dengan cinta yang tak pernah kesampaian.”

           Tyas hanya menundukkan wajah untuk menyembunyikan dirinya yang salah tingkah. Ya Tuhan. Betapa dirinya tidak pernah menyangka bahwa dia masih bisa merasakan perasaan cinta pertama di usianya yang memasuki 55 tahun.

           ”Kirana pasti sangat mencintaimu.” Tyas merasakan nyamannya dekapan Bagas dan wajahnya yang terbenam di dada Bagas.

           ”Aku yakin Rully juga begitu tapi sekarang sudah ada yang mencintai mereka berdua lebih dari kita di atas sana,” ujar Bagas sambil mengarahkan telunjuknya ke langit.

           Tyas merenggangkan pelukannya. Perasaan inferior seketika menguasainya. ”Aku pasti tidak bisa sebaik Kirana. Kalian hampir tiga puluh tahun bersama.”

           Pandangan mata Bagas berubah sendu. ”Apa kau pikir aku tidak merasakan ketakutan yang sama? Kamu tahu, Tyas? Aku sendiri masih sulit untuk mengakui kalau Rully adalah lelaki terbaik yang pernah mencintaimu.”

           Hening.

           Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan kenangan tentang pasangan masing-masing.

           Bagas memeluk pundak Kirana dan mengajaknya berjalan melewati Jalan Mpu Tantular dan menyusuri Kali Semarang yang dulu pernah berfungsi sebagai jalur transportasi air dari pelabuhan ke dalam kota. Lalu ia mengajak Kirana berhenti sesaat di Jembatan Berok dan mengarahkan pandangan ke ujung Kota Lama. Disini bangunan-bangunan Kota Lama semakin terlihat jelas dan sebutan Kota Lama Semarang sebagai Little Netherland pun terbukti.

           ”Kamu lihat seluruh Kota Lama itu.” Bagas memeluk Tyas dari belakang. Ia tidak peduli bila orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap ia seperti remaja mabuk cinta. ”Seperti itulah aku mencintaimu. Sempat beberapa kali terlupakan karena ada yang baru. Namun kenangan tentang yang lama dan pertama tidak pernah hilang dan selalu dirindukan.”

           Tyas terdiam dan tidak menanggapi perkataan Bagas. Ia melepaskan lengan Bagas dan menggamitnya menuju Gedung Marba. ”Kamu masih ingat warung-warung disitu kan?” tunjuk Tyas dengan dagunya. ”Nasi kucing, teh poci, dan mbak-mbak yang...” Tyas menahan kata-katanya.

           Bagas tertawa kecil. ”Iya...iya...aku ingat. Setiap pulang dari situ kau pasti merajuk dan aku senang sekali menggodamu.”

           Senyum Tyas mengembang. ”Kamu tahu aku cemburuan. Tapi masih saja kamu menggodaku.”

           ”Apa kamu sekarang masih begitu?” Bagas menahan langkahnya dan berdiri di hadapan Tyas.

           ”Maksudmu?” Tyas mengernyitkan dahi.

           ”Cemburuan, suka ngambek, dan lemah sekali dengan permintaan maaf yang disertai bunga mawar?” cecar Bagas.

           ”Menurutmu?” Tyas bertanya balik.

           Bagas mengedikkan bahu. ”Aku tidak tahu. Tapi jujur aku lebih senang kamu yang begitu karena aku jadi tahu betapa besarnya cintamu.”

           ”Aku masih seperti itu dan mungkin akan lebih parah.” Tyas memandang Bagas dalam-dalam.

           ”Kalau begitu, ayo kita ke warung itu,” ungkap Bagas semangat.

           Tyas merengut. “Kalau begitu, lebih baik kita pulang sekarang.”  

           Bagas tergelak karena berhasil menggoda Tyas. ”Sebentar lagi ya. Aku masih mau berkeliling lagi. Ada satu tempat yang ingin kukunjungi.”

           Kali ini Bagas yang menggandeng lengan Tyas. Mereka berjalan keluar dari benteng namun masih dalam area Kota Lama. Pandangan mata mereka terpaku pada bangunan serupa mercusuar yang ternyata adalah sebuah menara masjid. Masjid yang berada di Jalan Layur itu termasuk dalam zona maleische alias kampung melayu. Beberapa etnik seperti Melayu, Arab, dan Tionghoa pernah tinggal di daerah ini. Bahkan jejaknya pun dapat disaksikan dari bangunan-bangunan tionghoa kuno yang berdiri di kanan-kiri masjid. Suasana tempo doeloe sangat terasa bila berjalan-jalan di kawasan ini karena terdapat studio foto jaman dulu dan toko kelontong serta restoran yang memasang foto-foto hitam putih dengan nuansa kuno.

           Persis di depan masjid, Bagas menghentikan langkahnya. Ia memandang mata Tyas lekat dan menggenggam jemarinya erat. “Aku selalu berharap bisa menyuntingmu menjadi istriku. Meskipun aku terlambat tiga puluh tahun. Anantyas Dewi maukah kamu menerima Bagas Wibisono sebagai suamimu?”

           Tyas tampak terperangah dan tidak bicara sepatah katapun. Namun pelukannya yang erat di tubuh Bagas menandakan ia menerima lamaran itu.

           Di bawah sinar matahari sore, mereka berdoa agar diberi banyak waktu untuk menikmati cinta di kala senja. Mereka tahu cinta mereka tidak mudah tapi bagaikan Kota Lama yang bertahan untuk tidak tergerus kemajuan zaman, seperti itulah mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama.

           Satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Namun, waktu membuktikan cinta sejati tidak pernah mati.

 

"Ana Westy, 22-11-2010"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SINGKAWANG : KOTA TERTOLERAN

               Please free to read and download thisbook ^_^                               https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?i...