Bagas tertegun beberapa saat ketika kereta yang ditumpanginya dari Bandung memasuki Stasiun Tawang. Ia mengamati penumpang yang mulai berjalan keluar dari gerbong. Sengaja ia menunggu hingga penumpang gerbong berkurang setengahnya, baru setelah itu ia akan turun. Dengan usianya yang sudah 68 tahun, ia sadar diri bahwa dia tidak punya cukup energi untuk berdesak-desakan.
Tangan Bagas bergerak perlahan untuk
merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah foto yang
sudah memudar warnanya. Foto yang disimpannya lebih dari tiga puluh tahun.
Wajah yang terpampang di foto itu masih terlihat meskipun samar. Namun selebihnya sudah tak tersisa sesuatu yang
dapat dipandang dari foto itu. Mata Bagas memanas dan basah saat jemarinya
mengusap perlahan foto itu. Waktu ternyata tidak berhasil mengubur perasaannya.
Keluar
dari Stasiun Tawang, pemandangan Kota Lama terhampar di hadapannya. Bagas
memutuskan untuk berjalan kaki karena jarak Kota Lama dari stasiun dapat
dicapai dalam beberapa menit. Bangunan bergaya eropa dengan pintu dan jendela
yang besar, kaca yang berwarna-warni, langit-langit yang tinggi, serta kubah
yang artistik menyambut Bagas ketika ia mulai memasuki Kota Lama yang serupa
dengan replika kota di negeri kincir angin itu. Meski bukan yang pertama
kalinya, namun Bagas selalu terpesona dengan keindahan suasana tempo dulu yang
bersanding dengan kemajuan pembangunan kota. Sebuah perpaduan yang unik yang
perlu dipertahankan disaat ada beberapa daerah yang merombak total peninggalan
sejarah dengan berbagai alasan.
Bagas menghentikan langkahnya ketika Gereja
Blenduk sudah berada beberapa meter di depannya. Bangunan yang dibangun pada
Tahun 1700-an ini memiliki kubah berbentuk setengah bola sesuai dengan arti
blenduk dalam Bahasa Jawa. Bagas mengamati keseluruhan bangunan gereja itu dan
berdecak kagum. Di seberang gereja itu berdiri gedung tua yang dulu bernama
NILLMIJ (Nederlandsch Indische Leven Sverzekering de Lifrente Maatschaapij) dan
dikenal sebagai cikal bakal berdirinya PT. Asuransi Jiwasraya hingga sekarang.
Decak
kagumnya semakin bertambah ketika mendapati raut wajah yang tercetak di foto
lusuhnya. Ia tidak banyak berubah. Kecantikannya abadi. Bagas bergegas menghampiri
perempuan bergaun biru itu yang sedang duduk di bangku beton Taman Srigunting.
Lokasi taman yang terletak di samping gereja itu menguatkan suasana Kota Lama.
Bagas seolah berteleportasi ke masa lalu.
”Tyas.....”
ucap Bagas hati-hati. ”Aku pikir kamu tidak akan datang.”
Perempuan
yang tadinya sedang menatap ke depan itu memalingkan wajahnya dan tersenyum
lebar. ”Bagas.....” ujarnya dengan mata berbinar. ”Bagaimana mungkin aku tidak
datang?” Tyas berkata lagi.
Bagas
dulunya hanyalah anak pegawai rendahan di perusahaan keluarga Tyas. Cinta
mereka sempat bersemi namun tak bisa bersatu. Nasib memisahkan mereka dan
menjadikan mereka menjalani takdir masing-masing. Kota Lama Semarang menyimpan
banyak kenangan bagi mereka sekaligus saksi dua orang yang berevolusi dari
anak-anak hingga dewasa. Tujuh tahun mereka berjuang dan akhirnya menyerah.
Roda
nasib mempertemukan mereka kembali saat keduanya menghadiri reuni di Semarang
sebulan yang lalu. Tapi saat itu mereka harus kembali terpisah karena Bagas
tinggal di Bandung dan Tyas tinggal di Surabaya. Mereka kemudian sepakat untuk bertemu lagi di Kota
Lama hari ini.
”Aku pikir aku hanya bisa bersatu denganmu di
akhirat,” kata Tyas lirih.
”Tidak
perlu sampai begitu. ”Bagas menggenggam jemari Tyas. ”Setelah ini kita akan
mengikrarkan cinta kita. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”
”Apakah
anak-anak dan cucu-cucu kita tidak akan keberatan dengan hal ini? Apakah kita
tidak terlalu terlambat?” tanya Tyas khawatir.
”Kalau mereka tahu bahwa kita saling
menyimpan cinta selama puluhan tahun, mereka pasti akan mengerti.” Bagas
meyakinkan Tyas.
Tyas
mendongakkan wajah dan menatap Bagas penuh arti. ”Aku tidak muda lagi. Tubuhku
sudah kendur disana-sini. Apa kau yakin kau bisa menerima itu?”
Bagas
tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Sepanjang usiaku, aku sudah
mengenal banyak perempuan tapi belum pernah kutemukan seseorang yang membuatku
tidak peduli akan penampilan fisiknya. Kamulah orang itu, Tyas. Hanya hatimu
yang kuinginkan.”
”Menua
tidak membuatmu berhenti menggombal ya.” Tyas mendaratkan cubitan di pinggang Bagas.
Bagas
mengaduh pelan lalu mengedipkan matanya ke arah Tyas. ”Tapi kamu suka kan?”
Lengan Bagas terulur merengkuh Tyas dalam pelukannya. ”Di usia senja seperti
ini, aku hanya membutuhkan seseorang untuk menemani hingga aku menutup mata.
Bagiku hal yang paling menyedihkan adalah orang yang melewati akhir hayatnya
sendirian dengan cinta yang tak pernah kesampaian.”
Tyas
hanya menundukkan wajah untuk menyembunyikan dirinya yang salah tingkah. Ya
Tuhan. Betapa dirinya tidak pernah menyangka bahwa dia masih bisa merasakan
perasaan cinta pertama di usianya yang memasuki 55 tahun.
”Kirana
pasti sangat mencintaimu.” Tyas merasakan nyamannya dekapan Bagas dan wajahnya
yang terbenam di dada Bagas.
”Aku
yakin Rully juga begitu tapi sekarang sudah ada yang mencintai mereka berdua lebih
dari kita di atas sana,” ujar Bagas sambil mengarahkan telunjuknya ke langit.
Tyas
merenggangkan pelukannya. Perasaan inferior seketika menguasainya. ”Aku pasti
tidak bisa sebaik Kirana. Kalian hampir tiga puluh tahun bersama.”
Pandangan
mata Bagas berubah sendu. ”Apa kau pikir aku tidak merasakan ketakutan yang
sama? Kamu tahu, Tyas? Aku sendiri masih sulit untuk mengakui kalau Rully
adalah lelaki terbaik yang pernah mencintaimu.”
Hening.
Mereka
sama-sama terdiam. Sibuk dengan kenangan tentang pasangan masing-masing.
Bagas
memeluk pundak Kirana dan mengajaknya berjalan melewati Jalan Mpu Tantular dan
menyusuri Kali Semarang yang dulu pernah berfungsi sebagai jalur transportasi
air dari pelabuhan ke dalam kota. Lalu ia mengajak Kirana berhenti sesaat di
Jembatan Berok dan mengarahkan pandangan ke ujung Kota Lama. Disini
bangunan-bangunan Kota Lama semakin terlihat jelas dan sebutan Kota Lama
Semarang sebagai Little Netherland
pun terbukti.
”Kamu lihat seluruh Kota Lama itu.” Bagas memeluk Tyas dari belakang. Ia tidak
peduli bila orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap ia seperti remaja
mabuk cinta. ”Seperti itulah aku mencintaimu. Sempat beberapa kali terlupakan
karena ada yang baru. Namun kenangan tentang yang lama dan pertama tidak pernah
hilang dan selalu dirindukan.”
Tyas
terdiam dan tidak menanggapi perkataan Bagas. Ia melepaskan lengan Bagas dan
menggamitnya menuju Gedung Marba. ”Kamu masih ingat warung-warung disitu kan?”
tunjuk Tyas dengan dagunya. ”Nasi kucing, teh poci, dan mbak-mbak yang...” Tyas
menahan kata-katanya.
Bagas
tertawa kecil. ”Iya...iya...aku ingat. Setiap pulang dari situ kau pasti
merajuk dan aku senang sekali menggodamu.”
Senyum
Tyas mengembang. ”Kamu tahu aku cemburuan. Tapi masih saja kamu menggodaku.”
”Apa
kamu sekarang masih begitu?” Bagas menahan langkahnya dan berdiri di hadapan
Tyas.
”Maksudmu?”
Tyas mengernyitkan dahi.
”Cemburuan,
suka ngambek, dan lemah sekali dengan permintaan maaf yang disertai bunga
mawar?” cecar Bagas.
”Menurutmu?” Tyas bertanya balik.
Bagas
mengedikkan bahu. ”Aku tidak tahu. Tapi jujur aku lebih senang kamu yang begitu
karena aku jadi tahu betapa besarnya cintamu.”
”Aku masih seperti itu dan mungkin akan
lebih parah.” Tyas memandang
Bagas dalam-dalam.
”Kalau
begitu, ayo kita ke warung itu,” ungkap Bagas semangat.
Tyas
merengut. “Kalau begitu, lebih baik kita pulang sekarang.”
Bagas
tergelak karena berhasil menggoda Tyas. ”Sebentar lagi ya. Aku masih mau
berkeliling lagi. Ada satu tempat yang ingin kukunjungi.”
Kali
ini Bagas yang menggandeng lengan Tyas. Mereka berjalan keluar dari benteng namun masih dalam area Kota Lama. Pandangan
mata mereka terpaku pada bangunan serupa mercusuar yang ternyata adalah sebuah
menara masjid. Masjid yang berada di Jalan Layur itu termasuk dalam zona maleische alias kampung melayu. Beberapa
etnik seperti Melayu, Arab, dan Tionghoa pernah tinggal di daerah ini. Bahkan
jejaknya pun dapat disaksikan dari bangunan-bangunan tionghoa kuno yang berdiri
di kanan-kiri masjid. Suasana tempo doeloe sangat terasa bila berjalan-jalan di
kawasan ini karena terdapat studio foto jaman dulu dan toko kelontong serta
restoran yang memasang foto-foto hitam putih dengan nuansa kuno.
Persis
di depan masjid, Bagas menghentikan langkahnya. Ia memandang mata Tyas lekat
dan menggenggam jemarinya erat. “Aku selalu berharap bisa menyuntingmu menjadi
istriku. Meskipun aku terlambat tiga puluh tahun. Anantyas Dewi maukah kamu
menerima Bagas Wibisono sebagai suamimu?”
Tyas
tampak terperangah dan tidak bicara sepatah katapun. Namun pelukannya yang erat
di tubuh Bagas menandakan ia menerima lamaran itu.
Di
bawah sinar matahari sore, mereka berdoa agar diberi banyak waktu untuk
menikmati cinta di kala senja. Mereka tahu cinta mereka tidak mudah tapi
bagaikan Kota Lama yang bertahan untuk tidak tergerus kemajuan zaman, seperti
itulah mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama.
Satu-satunya
yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Namun, waktu membuktikan cinta sejati
tidak pernah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar