Jumat, 26 Mei 2023
Rabu, 24 Mei 2023
Selasa, 23 Mei 2023
CINTA DI KALA SENJA
Bagas tertegun beberapa saat ketika kereta yang ditumpanginya dari Bandung memasuki Stasiun Tawang. Ia mengamati penumpang yang mulai berjalan keluar dari gerbong. Sengaja ia menunggu hingga penumpang gerbong berkurang setengahnya, baru setelah itu ia akan turun. Dengan usianya yang sudah 68 tahun, ia sadar diri bahwa dia tidak punya cukup energi untuk berdesak-desakan.
Tangan Bagas bergerak perlahan untuk
merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah foto yang
sudah memudar warnanya. Foto yang disimpannya lebih dari tiga puluh tahun.
Wajah yang terpampang di foto itu masih terlihat meskipun samar. Namun selebihnya sudah tak tersisa sesuatu yang
dapat dipandang dari foto itu. Mata Bagas memanas dan basah saat jemarinya
mengusap perlahan foto itu. Waktu ternyata tidak berhasil mengubur perasaannya.
Keluar
dari Stasiun Tawang, pemandangan Kota Lama terhampar di hadapannya. Bagas
memutuskan untuk berjalan kaki karena jarak Kota Lama dari stasiun dapat
dicapai dalam beberapa menit. Bangunan bergaya eropa dengan pintu dan jendela
yang besar, kaca yang berwarna-warni, langit-langit yang tinggi, serta kubah
yang artistik menyambut Bagas ketika ia mulai memasuki Kota Lama yang serupa
dengan replika kota di negeri kincir angin itu. Meski bukan yang pertama
kalinya, namun Bagas selalu terpesona dengan keindahan suasana tempo dulu yang
bersanding dengan kemajuan pembangunan kota. Sebuah perpaduan yang unik yang
perlu dipertahankan disaat ada beberapa daerah yang merombak total peninggalan
sejarah dengan berbagai alasan.
Bagas menghentikan langkahnya ketika Gereja
Blenduk sudah berada beberapa meter di depannya. Bangunan yang dibangun pada
Tahun 1700-an ini memiliki kubah berbentuk setengah bola sesuai dengan arti
blenduk dalam Bahasa Jawa. Bagas mengamati keseluruhan bangunan gereja itu dan
berdecak kagum. Di seberang gereja itu berdiri gedung tua yang dulu bernama
NILLMIJ (Nederlandsch Indische Leven Sverzekering de Lifrente Maatschaapij) dan
dikenal sebagai cikal bakal berdirinya PT. Asuransi Jiwasraya hingga sekarang.
Decak
kagumnya semakin bertambah ketika mendapati raut wajah yang tercetak di foto
lusuhnya. Ia tidak banyak berubah. Kecantikannya abadi. Bagas bergegas menghampiri
perempuan bergaun biru itu yang sedang duduk di bangku beton Taman Srigunting.
Lokasi taman yang terletak di samping gereja itu menguatkan suasana Kota Lama.
Bagas seolah berteleportasi ke masa lalu.
”Tyas.....”
ucap Bagas hati-hati. ”Aku pikir kamu tidak akan datang.”
Perempuan
yang tadinya sedang menatap ke depan itu memalingkan wajahnya dan tersenyum
lebar. ”Bagas.....” ujarnya dengan mata berbinar. ”Bagaimana mungkin aku tidak
datang?” Tyas berkata lagi.
Bagas
dulunya hanyalah anak pegawai rendahan di perusahaan keluarga Tyas. Cinta
mereka sempat bersemi namun tak bisa bersatu. Nasib memisahkan mereka dan
menjadikan mereka menjalani takdir masing-masing. Kota Lama Semarang menyimpan
banyak kenangan bagi mereka sekaligus saksi dua orang yang berevolusi dari
anak-anak hingga dewasa. Tujuh tahun mereka berjuang dan akhirnya menyerah.
Roda
nasib mempertemukan mereka kembali saat keduanya menghadiri reuni di Semarang
sebulan yang lalu. Tapi saat itu mereka harus kembali terpisah karena Bagas
tinggal di Bandung dan Tyas tinggal di Surabaya. Mereka kemudian sepakat untuk bertemu lagi di Kota
Lama hari ini.
”Aku pikir aku hanya bisa bersatu denganmu di
akhirat,” kata Tyas lirih.
”Tidak
perlu sampai begitu. ”Bagas menggenggam jemari Tyas. ”Setelah ini kita akan
mengikrarkan cinta kita. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”
”Apakah
anak-anak dan cucu-cucu kita tidak akan keberatan dengan hal ini? Apakah kita
tidak terlalu terlambat?” tanya Tyas khawatir.
”Kalau mereka tahu bahwa kita saling
menyimpan cinta selama puluhan tahun, mereka pasti akan mengerti.” Bagas
meyakinkan Tyas.
Tyas
mendongakkan wajah dan menatap Bagas penuh arti. ”Aku tidak muda lagi. Tubuhku
sudah kendur disana-sini. Apa kau yakin kau bisa menerima itu?”
Bagas
tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Sepanjang usiaku, aku sudah
mengenal banyak perempuan tapi belum pernah kutemukan seseorang yang membuatku
tidak peduli akan penampilan fisiknya. Kamulah orang itu, Tyas. Hanya hatimu
yang kuinginkan.”
”Menua
tidak membuatmu berhenti menggombal ya.” Tyas mendaratkan cubitan di pinggang Bagas.
Bagas
mengaduh pelan lalu mengedipkan matanya ke arah Tyas. ”Tapi kamu suka kan?”
Lengan Bagas terulur merengkuh Tyas dalam pelukannya. ”Di usia senja seperti
ini, aku hanya membutuhkan seseorang untuk menemani hingga aku menutup mata.
Bagiku hal yang paling menyedihkan adalah orang yang melewati akhir hayatnya
sendirian dengan cinta yang tak pernah kesampaian.”
Tyas
hanya menundukkan wajah untuk menyembunyikan dirinya yang salah tingkah. Ya
Tuhan. Betapa dirinya tidak pernah menyangka bahwa dia masih bisa merasakan
perasaan cinta pertama di usianya yang memasuki 55 tahun.
”Kirana
pasti sangat mencintaimu.” Tyas merasakan nyamannya dekapan Bagas dan wajahnya
yang terbenam di dada Bagas.
”Aku
yakin Rully juga begitu tapi sekarang sudah ada yang mencintai mereka berdua lebih
dari kita di atas sana,” ujar Bagas sambil mengarahkan telunjuknya ke langit.
Tyas
merenggangkan pelukannya. Perasaan inferior seketika menguasainya. ”Aku pasti
tidak bisa sebaik Kirana. Kalian hampir tiga puluh tahun bersama.”
Pandangan
mata Bagas berubah sendu. ”Apa kau pikir aku tidak merasakan ketakutan yang
sama? Kamu tahu, Tyas? Aku sendiri masih sulit untuk mengakui kalau Rully
adalah lelaki terbaik yang pernah mencintaimu.”
Hening.
Mereka
sama-sama terdiam. Sibuk dengan kenangan tentang pasangan masing-masing.
Bagas
memeluk pundak Kirana dan mengajaknya berjalan melewati Jalan Mpu Tantular dan
menyusuri Kali Semarang yang dulu pernah berfungsi sebagai jalur transportasi
air dari pelabuhan ke dalam kota. Lalu ia mengajak Kirana berhenti sesaat di
Jembatan Berok dan mengarahkan pandangan ke ujung Kota Lama. Disini
bangunan-bangunan Kota Lama semakin terlihat jelas dan sebutan Kota Lama
Semarang sebagai Little Netherland
pun terbukti.
”Kamu lihat seluruh Kota Lama itu.” Bagas memeluk Tyas dari belakang. Ia tidak
peduli bila orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap ia seperti remaja
mabuk cinta. ”Seperti itulah aku mencintaimu. Sempat beberapa kali terlupakan
karena ada yang baru. Namun kenangan tentang yang lama dan pertama tidak pernah
hilang dan selalu dirindukan.”
Tyas
terdiam dan tidak menanggapi perkataan Bagas. Ia melepaskan lengan Bagas dan
menggamitnya menuju Gedung Marba. ”Kamu masih ingat warung-warung disitu kan?”
tunjuk Tyas dengan dagunya. ”Nasi kucing, teh poci, dan mbak-mbak yang...” Tyas
menahan kata-katanya.
Bagas
tertawa kecil. ”Iya...iya...aku ingat. Setiap pulang dari situ kau pasti
merajuk dan aku senang sekali menggodamu.”
Senyum
Tyas mengembang. ”Kamu tahu aku cemburuan. Tapi masih saja kamu menggodaku.”
”Apa
kamu sekarang masih begitu?” Bagas menahan langkahnya dan berdiri di hadapan
Tyas.
”Maksudmu?”
Tyas mengernyitkan dahi.
”Cemburuan,
suka ngambek, dan lemah sekali dengan permintaan maaf yang disertai bunga
mawar?” cecar Bagas.
”Menurutmu?” Tyas bertanya balik.
Bagas
mengedikkan bahu. ”Aku tidak tahu. Tapi jujur aku lebih senang kamu yang begitu
karena aku jadi tahu betapa besarnya cintamu.”
”Aku masih seperti itu dan mungkin akan
lebih parah.” Tyas memandang
Bagas dalam-dalam.
”Kalau
begitu, ayo kita ke warung itu,” ungkap Bagas semangat.
Tyas
merengut. “Kalau begitu, lebih baik kita pulang sekarang.”
Bagas
tergelak karena berhasil menggoda Tyas. ”Sebentar lagi ya. Aku masih mau
berkeliling lagi. Ada satu tempat yang ingin kukunjungi.”
Kali
ini Bagas yang menggandeng lengan Tyas. Mereka berjalan keluar dari benteng namun masih dalam area Kota Lama. Pandangan
mata mereka terpaku pada bangunan serupa mercusuar yang ternyata adalah sebuah
menara masjid. Masjid yang berada di Jalan Layur itu termasuk dalam zona maleische alias kampung melayu. Beberapa
etnik seperti Melayu, Arab, dan Tionghoa pernah tinggal di daerah ini. Bahkan
jejaknya pun dapat disaksikan dari bangunan-bangunan tionghoa kuno yang berdiri
di kanan-kiri masjid. Suasana tempo doeloe sangat terasa bila berjalan-jalan di
kawasan ini karena terdapat studio foto jaman dulu dan toko kelontong serta
restoran yang memasang foto-foto hitam putih dengan nuansa kuno.
Persis
di depan masjid, Bagas menghentikan langkahnya. Ia memandang mata Tyas lekat
dan menggenggam jemarinya erat. “Aku selalu berharap bisa menyuntingmu menjadi
istriku. Meskipun aku terlambat tiga puluh tahun. Anantyas Dewi maukah kamu
menerima Bagas Wibisono sebagai suamimu?”
Tyas
tampak terperangah dan tidak bicara sepatah katapun. Namun pelukannya yang erat
di tubuh Bagas menandakan ia menerima lamaran itu.
Di
bawah sinar matahari sore, mereka berdoa agar diberi banyak waktu untuk
menikmati cinta di kala senja. Mereka tahu cinta mereka tidak mudah tapi
bagaikan Kota Lama yang bertahan untuk tidak tergerus kemajuan zaman, seperti
itulah mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama.
Satu-satunya
yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Namun, waktu membuktikan cinta sejati
tidak pernah mati.
GELAP
Lagi dan lagi.
Jadwal kunjungan Reno ke rumah sakit setiap hari rabu terus berulang. Dimulai sejak beberapa bulan yang lalu—saat hobi balap liarnya hampir saja merenggut nyawanya. Ia selamat dari maut meskipun harus kehilangan penglihatannya.
Tentu saja. Ini adalah mimpi
buruk bagi Reno. Bukan satu-dua kali ia pernah mencoba bunuh diri. Kalau saja
Ayahnya tidak mencegah dan menyemangatinya bahwa akan selalu ada donor mata
untuknya serta tangis Ibunya yang memohonnya untuk tetap hidup—Reno mungkin hanya
tinggal nama saat ini.
Rumah Sakit Khusus Mata di
Cicendo—Bandung ini selalu menyuguhinya perasaan yang sama. Setengah dirinya
menerima kenyataan itu dan setengahnya lagi menyangkalnya.
Siang itu Reno sedang
terkantuk-kantuk di bangku ruang tunggu ketika seorang laki-laki yang duduk di
sampingnya berdehem dan terbatuk-batuk.
“Anak muda, bisakah kau tolong
aku?” Suara berat dan dalam milik laki-laki itu menyentakkan Reno dari posisinya
yang bersandar di kursi.
”Tolong apa ya, Pak?” Jawab
Reno acuh tak acuh.
”Aku merasa sesak nafas tapi
dari tadi aku tidak juga menemukan obatku. Bisakah kau membantu aku
mencarikannya dalam tas ini.”
Reno bisa merasakan sebuah
benda menyentuh pahanya. Sepertinya
tas milik laki-laki itu disodorkan kepadanya.
”Apa ini?” Reno memalingkan
wajah dan menelengkan kepalanya ke kanan meski ia tahu ia tidak akan bisa
melihat laki-laki itu. ”Aku tidak bisa membantumu, Pak Tua.” Reno mendengus
kesal.
”Kenapa?” Seru laki-laki itu.
”Tenang saja. Tidak ada
barang berharga di dalamnya.”
”Sama saja. Aku tetap tidak
bisa membantumu karena aku tidak bisa melihat. Mengerti!” Nada bicara Reno
bercampur emosi.
Dari tangkapan inderanya yang
masih berfungsi, Reno tahu hanya ada dia dan Bapak Tua itu di ruang tunggu. Ia
hanya ingin memastikan. Setidaknya ia tidak perlu khawatir akan ada orang yang
melabraknya karena ketidaksopanannya.
”Maafkan aku anak muda. Aku
tidak tahu kondisimu,” ujar laki-laki itu dengan rendah hati.
Reno menghela nafas dalam.
”Bapak pikir untuk apa saya ada disini.” Egonya mulai melemah karena permintaan
maaf laki-laki itu.
”Apakah kau akan dioperasi?”
”Tidak. Saya hanya konsultasi
rutin. Bapak sendiri?”
”Aku mendapatkan donor mata.
Hari ini mereka akan menentukan jadwal operasinya,” sahut laki-laki itu.
”Selamat ya, Pak. Saya iri
dengan Bapak. Bapak sungguh beruntung,” ungkap Reno.
”Tidak seperti yang kau
bayangkan, nak.”
Laki-laki itu menahan
kata-katanya dan berdehem keras seolah dengan begitu tenggorokannya akan terasa
lega. Reno sudah ingin bertanya namun niatnya terpaksa diurungkan karena
laki-laki itu bicara lagi.
Sudah lama?” tanyanya.
”Apanya yang sudah lama? Cetus
Reno.
”Kebutaanmu?”
”Belum lama. Sejak dua bulan
yang lalu.”
Hening.
Mereka sama-sama membisu selama beberapa menit. Laki-laki itu masih sibuk mencari obat pereda
sesak nafas di dalam tas kumalnya. Sementara Reno hanya berdiam diri dan
gelisah dengan kesendiriannya.
Ketika laki-laki itu sudah
menemukan obat yang dimaksud dan menenggaknya dengan sekali tegukan, ia berkata
lagi. “Sadarkah kau bahwa kau lebih beruntung dari aku?”
“Dalam hal apa?” tanya Reno
ketus.
“Kau sudah pernah melihat
sebelumnya” Laki-laki itu menahan kata-katanya. ”Lalu kau tak bisa melihat lagi
karena kesalahanmu sendiri.”
”Memangnya kenapa kalau
begitu? Sekarang aku buta. Itu kenyataannya,” nada bicara Reno berubah sinis.
“Bandingkan denganku! tegas
laki-laki itu. ”Aku terlahir buta dan semua adalah takdir Maha Kuasa. Bisakah
aku menyalahkan sang pencipta?” seru laki-laki itu retoris. ”Lama sekali hingga akhirnya aku tahu bahwa
orang-orang sepertiku memang sengaja diciptakan.”
”Maksud Bapak?” Reno yang sedari tadi
mengabaikan laki-laki itu tiba-tiba tertarik dengan pernyataannya.
”Kalau tidak ada orang-orang
seperti aku, maka banyak manusia yang tidak menyadari bahwa mata, telinga,
mulut, dan indera lainnya yang mereka miliki begitu berharga sehingga harus
dipergunakan dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya orang-orang
seperti aku, mereka yang normal bisa belajar bahwa ketidaksempurnaanlah yang
menjadikan hidup ini indah. Karena dengan berbagi manusia bisa merasakan
esensinya di dunia ini.”
”Mungkin orang lain bisa
begitu. Tapi aku sendiri tidak merasa ada hal baik yang kudapatkan karena aku tidak bisa melihat.”
”Begitukah? Kau
yakin?”
”Tentu saja.” Reno
terganggu dengan pernyataan itu.
Laki-laki itu menggumam.
”Baiklah. Coba jawab aku? Sejak kau tidak bisa melihat, indera apa yang kau
andalkan.”
”Mmm...pendengaran...penciuman...”
Jawab Reno ragu-ragu. ”Instingku juga menjadi lebih tajam. Kadang aku seperti
melihat terang di dalam gelap.” Reno berfilosofi.
”Apakah kau mendapatkan
perhatian lebih dari kedua orangtuamu?”
Reno mengernyitkan dahi. ”Iya.
Sekarang hampir setiap hari mereka ada di rumah. Dulu bisa ketemu sebulan
sekali juga sudah bagus.”
“Apakah ada sikap
teman-temanmu yang berubah?”
”Ya...beberapa orang memang
berubah. Mereka sulit sekali kalau dimintai tolong tapi masih ada seorang
sahabat yang setia.”
”Bagaimana dengan pacarmu?”
Reno terhenyak. Ia sebenarnya
tidak suka pertanyaan seperti ini datang dari orang yang tidak
dikenalnya—ralat—baru dikenalnya—tapi ia jawab juga pertanyaan itu.
”Dia meninggalkan aku.” Reno
menggigit bibirnya. ”Tapi beberapa minggu berikutnya datang seorang gadis
sederhana yang memberikan perhatian dengan tulus. Seseorang yang kucampakkan di
masa lalu.”
“Apa hal-hal tersebut tidak
bisa dianggap baik?” Laki-laki itu bicara sambil duduk dengan tangan bertumpu
pada tongkatnya. ”Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian bagi yang siapapun
yang berusaha mencari tahu,” serunya lagi.
Reno mengetukkan jarinya ke
bangku tanda ia sedang gelisah. ”Meski begitu, aku seringkali berharap. Seandainya
aku lebih berhati-hati, seandainya mereka tidak menyalip mobilku. Seandainya...
Laki-laki itu memotong
perkataan Reno. ”Tidak ada gunanya meratapi yang sudah terjadi. Karena waktu tak akan bisa
diputarbalikkan.”
”Tapi berandai-andai adalah
cara yang paling ampuh untuk meredakan perasaan marahku,” bantah Reno.
Laki-laki itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Dalam hidup ini kita tidak hanya perlu terampil
memilih tapi juga memilah. Kadangkala kau harus lebih sering menundukkan
kepalamu dan melihat ke bawah sehingga kau dapat menemukan bahwa kau berkali-kali
lebih beruntung. Kau mungkin kehilangan penglihatanmu tapi kau masih punya
keluarga, kehidupan yang berkecukupan, dan juga masa depan.”
Reno mengangguk mengamini
perkataan laki-laki itu. ”Memang. Sayangnya merasa cukup itu sulit tapi
menginginkan lebih itu mudah.”
”Maka lihatlah aku, nak.”
Laki-laki itu terbatuk-batuk lagi. ”Aku ini tua, sebatang kara, penyakitan,
tapi aku masih punya harapan yang membuatku bertahan hidup. Aku ingin dapat melihat.
Meskipun itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya,” ungkap laki-laki tua itu
sendu.
”Kenapa Bapak datang sendiri?
Istri Bapak? Anak Bapak? Apakah tidak ada yang mengantar Bapak?” Reno memberondong laki-laki tua itu dengan pertanyaan.
”Istriku sudah lama
meninggal.” Suara laki-laki itu seketika berubah lirih. ”Dan anakku baru saja
menyusul Ibunya dua bulan yang lalu meninggal karena ditabrak mobil. Mata yang
akan didonorkan kepadaku adalah matanya. Ironis bukan!” Kini tangis terdengar
dalam setiap kata yang terucap oleh laki-laki itu.
”Saya turut bersedih, Pak.
Semoga Bapak diberikan kekuatan.” Reno menyentuh pundak laki-laki tua itu dan mengusapnya perlahan. ”Lalu
bagaimana dengan si penabrak? Apa dia tidak bertanggung jawab?”
”Orang yang menabrak anak saya
itu juga terluka parah. Tapi sepertinya orang-orang lebih mempedulikan pemuda
kaya itu daripada anak saya yang cuma pedagang asongan.”
”Pemuda itu harus bertanggung jawab, Pak.
Bagaimanapun kondisinya.”
”Tentu saja.” Laki-laki itu
berdehem lagi. ”Jika nanti mataku bisa melihat maka pemilik mobil sedan dengan plat
R 3 NO adalah hal yang ingin kulihat untuk pertama kalinya. Seseorang yang
membantu mengurus mayat anakku yang mengatakannya. Aku sungguh ingin membuat
perhitungan dengannya,” sahut laki-laki tua itu dengan penuh keyakinan.
Suara perawat yang memanggil
laki-laki tua itu memotong pembicaraan mereka.
”Saya masuk dulu, Nak. Senang bicara denganmu. Sampai bertemu
lagi.” Laki-laki itu menepuk lengan Reno sebelum menghampiri perawat yang
memanggilnya.
Reno mengangguk lalu menelan
ludah. Sepeninggal laki-laki tua itu, ia berpikir keras. Mungkin saja ada
beberapa mobil dengan plat nomor kendaraan yang mirip dengannya. Tapi Reno
sangat yakin di Bandung ini, hanya dia yang menggunakan plat nomor kendaraan
yang sesuai dengan namanya itu.
Seketika Reno merasa pusing.
Kegelapan yang dirasakannya menjadi semakin pekat. Tak ia temukan lagi terang
dalam gelapnya. Ia hanya bisa merasakan kegelapan menariknya semakin dalam.
*Terbit di Tribun Jabar, 9 Januari 2009
Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan
PENGUMUMAN BANTUAN PEMERINTAH BIDANG KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN: PENGUATAN KOMUNITAS SASTRA TAHUN ANGGARAN 2023
Pada Tahun 2023, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra memberikan Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra di wilayah Indonesia. Bantuan Pemerintah yang diselenggarakan berupa Fasilitasi dan Penghargan yang akan diberikan kepada Komunitas Sastra dan perseorangan dalam sumbangsihnya untuk mengembangkan komunitas sastra di wilayahnya.
Calon penerima Bantuan atau pemohon harus melakukan registrasi melalui tautan pendaftaran berikut https://spiritpusbanglin.kemdikbud.go.id/regbanpem.php
Informasi detail mengenai penyelenggaraan Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra Tahun Anggaran 2023 dapat dicermati dalam tautan Keputusan Kepala Badan Bahasa di bawah ini. (unduh lampiran juknis keputusan Kepala Badan Bahasa)
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, calon penerima Bantuan atau pemohon dapat menghubungi nomor 0821-4000-9935 melalui WhatsApp.
Sekretariat Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra Tahun 2023
Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kawasan Indonesia Peace and Security Centre (IPSC)
Jalan Anyar Km. 4, Tangkil, Citeureup
Kabupaten Bogor, Jawa Barat
SINGKAWANG : KOTA TERTOLERAN
Please free to read and download thisbook ^_^ https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?i...
-
Ribuan terimakasih untuk Kak Irniyati Samosir, kakak senior yang selalu terdepan mendukung apapun kegiatan positif adik-adik mahasi...
-
J alan menuju Kuching, setelah melewati Perbatasan Indonesia-Malaysia. Aspalnya mulus dan tidak bergelombang seperti di Indonesia. Pemanda...