Minggu, 11 Juni 2023

JALAN MURAH KE SINGAPURA


Tiket Kapal Feri ke Singapura, yeay!!! Merlion, aku datang 😍.


Saya dan hubby didalam Kapal Feri yang berlayar selama 45 menit saja. Saya suka perasaan seperti jalan darat ke Malaysia, ketika jalan-jalan keluar negeri terasa dekat.


Our first meal in Singapore. I'm lovin' it! Setelah suami saya tertahan hampir 1 jam di Kantor Imigrasi Singapura karena "random check" oleh petugas.

JALAN MURAH KE SINGAPURA

 


Modal saya buat ke Singapura sehari! Kalau ada pemeriksaan di Imigrasi berapa jumlah uang yang saya miliki, pasti saya tidak lolos masuk negara Singa. Atau kalau saya tinggal lebih dari satu hari, dipastikan saya jadi gembel 😆.


Penampakan kamar hotel yang dibayarin negara di area Harbour Bay - Batam.


Mirror Selfie is a must!


Kalo ini kamar yang bayar sendiri, lumayan cozy, harga sesuai sama kualitas, karena saya mengajak suami ke perjalanan dinas ke Batam jadinya kami terdampar di Zest Hotel yang tinggal jalan kaki aja dari tempat kegiatan di Swiss Bell Hotel.
Fun fact about this room : seperti mendengar siaran langsung bercinta tiap malam 😅.


Selasa, 23 Mei 2023

CINTA DI KALA SENJA

 


                Bagas tertegun beberapa saat ketika kereta yang ditumpanginya dari Bandung memasuki Stasiun Tawang. Ia mengamati penumpang yang mulai berjalan keluar dari gerbong. Sengaja ia menunggu hingga penumpang gerbong berkurang setengahnya, baru setelah itu ia akan turun. Dengan usianya yang sudah 68 tahun, ia sadar diri bahwa dia tidak punya cukup energi untuk berdesak-desakan.

           Tangan Bagas bergerak perlahan untuk merogoh saku celananya. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah foto yang sudah memudar warnanya. Foto yang disimpannya lebih dari tiga puluh tahun. Wajah yang terpampang di foto itu masih terlihat meskipun samar. Namun selebihnya sudah tak tersisa sesuatu yang dapat dipandang dari foto itu. Mata Bagas memanas dan basah saat jemarinya mengusap perlahan foto itu. Waktu ternyata tidak berhasil mengubur perasaannya.

           Keluar dari Stasiun Tawang, pemandangan Kota Lama terhampar di hadapannya. Bagas memutuskan untuk berjalan kaki karena jarak Kota Lama dari stasiun dapat dicapai dalam beberapa menit. Bangunan bergaya eropa dengan pintu dan jendela yang besar, kaca yang berwarna-warni, langit-langit yang tinggi, serta kubah yang artistik menyambut Bagas ketika ia mulai memasuki Kota Lama yang serupa dengan replika kota di negeri kincir angin itu. Meski bukan yang pertama kalinya, namun Bagas selalu terpesona dengan keindahan suasana tempo dulu yang bersanding dengan kemajuan pembangunan kota. Sebuah perpaduan yang unik yang perlu dipertahankan disaat ada beberapa daerah yang merombak total peninggalan sejarah dengan berbagai alasan.

           Bagas menghentikan langkahnya ketika Gereja Blenduk sudah berada beberapa meter di depannya. Bangunan yang dibangun pada Tahun 1700-an ini memiliki kubah berbentuk setengah bola sesuai dengan arti blenduk dalam Bahasa Jawa. Bagas mengamati keseluruhan bangunan gereja itu dan berdecak kagum. Di seberang gereja itu berdiri gedung tua yang dulu bernama NILLMIJ (Nederlandsch Indische Leven Sverzekering de Lifrente Maatschaapij) dan dikenal sebagai cikal bakal berdirinya PT. Asuransi Jiwasraya hingga sekarang.

           Decak kagumnya semakin bertambah ketika mendapati raut wajah yang tercetak di foto lusuhnya. Ia tidak banyak berubah. Kecantikannya abadi. Bagas bergegas menghampiri perempuan bergaun biru itu yang sedang duduk di bangku beton Taman Srigunting. Lokasi taman yang terletak di samping gereja itu menguatkan suasana Kota Lama. Bagas seolah berteleportasi ke masa lalu.

           ”Tyas.....” ucap Bagas hati-hati. ”Aku pikir kamu tidak akan datang.”

           Perempuan yang tadinya sedang menatap ke depan itu memalingkan wajahnya dan tersenyum lebar. ”Bagas.....” ujarnya dengan mata berbinar. ”Bagaimana mungkin aku tidak datang?” Tyas berkata lagi.

           Bagas dulunya hanyalah anak pegawai rendahan di perusahaan keluarga Tyas. Cinta mereka sempat bersemi namun tak bisa bersatu. Nasib memisahkan mereka dan menjadikan mereka menjalani takdir masing-masing. Kota Lama Semarang menyimpan banyak kenangan bagi mereka sekaligus saksi dua orang yang berevolusi dari anak-anak hingga dewasa. Tujuh tahun mereka berjuang dan akhirnya menyerah.

           Roda nasib mempertemukan mereka kembali saat keduanya menghadiri reuni di Semarang sebulan yang lalu. Tapi saat itu mereka harus kembali terpisah karena Bagas tinggal di Bandung dan Tyas tinggal di Surabaya. Mereka kemudian sepakat untuk bertemu lagi di Kota Lama hari ini.  

           ”Aku pikir aku hanya bisa bersatu denganmu di akhirat,” kata Tyas lirih.

           ”Tidak perlu sampai begitu. ”Bagas menggenggam jemari Tyas. ”Setelah ini kita akan mengikrarkan cinta kita. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi.”

           ”Apakah anak-anak dan cucu-cucu kita tidak akan keberatan dengan hal ini? Apakah kita tidak terlalu terlambat?” tanya Tyas khawatir.

           ”Kalau mereka tahu bahwa kita saling menyimpan cinta selama puluhan tahun, mereka pasti akan mengerti.” Bagas meyakinkan Tyas.

           Tyas mendongakkan wajah dan menatap Bagas penuh arti. ”Aku tidak muda lagi. Tubuhku sudah kendur disana-sini. Apa kau yakin kau bisa menerima itu?”

           Bagas tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Sepanjang usiaku, aku sudah mengenal banyak perempuan tapi belum pernah kutemukan seseorang yang membuatku tidak peduli akan penampilan fisiknya. Kamulah orang itu, Tyas. Hanya hatimu yang kuinginkan.”

           ”Menua tidak membuatmu berhenti menggombal ya.” Tyas mendaratkan cubitan di pinggang Bagas.

           Bagas mengaduh pelan lalu mengedipkan matanya ke arah Tyas. ”Tapi kamu suka kan?” Lengan Bagas terulur merengkuh Tyas dalam pelukannya. ”Di usia senja seperti ini, aku hanya membutuhkan seseorang untuk menemani hingga aku menutup mata. Bagiku hal yang paling menyedihkan adalah orang yang melewati akhir hayatnya sendirian dengan cinta yang tak pernah kesampaian.”

           Tyas hanya menundukkan wajah untuk menyembunyikan dirinya yang salah tingkah. Ya Tuhan. Betapa dirinya tidak pernah menyangka bahwa dia masih bisa merasakan perasaan cinta pertama di usianya yang memasuki 55 tahun.

           ”Kirana pasti sangat mencintaimu.” Tyas merasakan nyamannya dekapan Bagas dan wajahnya yang terbenam di dada Bagas.

           ”Aku yakin Rully juga begitu tapi sekarang sudah ada yang mencintai mereka berdua lebih dari kita di atas sana,” ujar Bagas sambil mengarahkan telunjuknya ke langit.

           Tyas merenggangkan pelukannya. Perasaan inferior seketika menguasainya. ”Aku pasti tidak bisa sebaik Kirana. Kalian hampir tiga puluh tahun bersama.”

           Pandangan mata Bagas berubah sendu. ”Apa kau pikir aku tidak merasakan ketakutan yang sama? Kamu tahu, Tyas? Aku sendiri masih sulit untuk mengakui kalau Rully adalah lelaki terbaik yang pernah mencintaimu.”

           Hening.

           Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan kenangan tentang pasangan masing-masing.

           Bagas memeluk pundak Kirana dan mengajaknya berjalan melewati Jalan Mpu Tantular dan menyusuri Kali Semarang yang dulu pernah berfungsi sebagai jalur transportasi air dari pelabuhan ke dalam kota. Lalu ia mengajak Kirana berhenti sesaat di Jembatan Berok dan mengarahkan pandangan ke ujung Kota Lama. Disini bangunan-bangunan Kota Lama semakin terlihat jelas dan sebutan Kota Lama Semarang sebagai Little Netherland pun terbukti.

           ”Kamu lihat seluruh Kota Lama itu.” Bagas memeluk Tyas dari belakang. Ia tidak peduli bila orang-orang yang berpapasan dengannya menganggap ia seperti remaja mabuk cinta. ”Seperti itulah aku mencintaimu. Sempat beberapa kali terlupakan karena ada yang baru. Namun kenangan tentang yang lama dan pertama tidak pernah hilang dan selalu dirindukan.”

           Tyas terdiam dan tidak menanggapi perkataan Bagas. Ia melepaskan lengan Bagas dan menggamitnya menuju Gedung Marba. ”Kamu masih ingat warung-warung disitu kan?” tunjuk Tyas dengan dagunya. ”Nasi kucing, teh poci, dan mbak-mbak yang...” Tyas menahan kata-katanya.

           Bagas tertawa kecil. ”Iya...iya...aku ingat. Setiap pulang dari situ kau pasti merajuk dan aku senang sekali menggodamu.”

           Senyum Tyas mengembang. ”Kamu tahu aku cemburuan. Tapi masih saja kamu menggodaku.”

           ”Apa kamu sekarang masih begitu?” Bagas menahan langkahnya dan berdiri di hadapan Tyas.

           ”Maksudmu?” Tyas mengernyitkan dahi.

           ”Cemburuan, suka ngambek, dan lemah sekali dengan permintaan maaf yang disertai bunga mawar?” cecar Bagas.

           ”Menurutmu?” Tyas bertanya balik.

           Bagas mengedikkan bahu. ”Aku tidak tahu. Tapi jujur aku lebih senang kamu yang begitu karena aku jadi tahu betapa besarnya cintamu.”

           ”Aku masih seperti itu dan mungkin akan lebih parah.” Tyas memandang Bagas dalam-dalam.

           ”Kalau begitu, ayo kita ke warung itu,” ungkap Bagas semangat.

           Tyas merengut. “Kalau begitu, lebih baik kita pulang sekarang.”  

           Bagas tergelak karena berhasil menggoda Tyas. ”Sebentar lagi ya. Aku masih mau berkeliling lagi. Ada satu tempat yang ingin kukunjungi.”

           Kali ini Bagas yang menggandeng lengan Tyas. Mereka berjalan keluar dari benteng namun masih dalam area Kota Lama. Pandangan mata mereka terpaku pada bangunan serupa mercusuar yang ternyata adalah sebuah menara masjid. Masjid yang berada di Jalan Layur itu termasuk dalam zona maleische alias kampung melayu. Beberapa etnik seperti Melayu, Arab, dan Tionghoa pernah tinggal di daerah ini. Bahkan jejaknya pun dapat disaksikan dari bangunan-bangunan tionghoa kuno yang berdiri di kanan-kiri masjid. Suasana tempo doeloe sangat terasa bila berjalan-jalan di kawasan ini karena terdapat studio foto jaman dulu dan toko kelontong serta restoran yang memasang foto-foto hitam putih dengan nuansa kuno.

           Persis di depan masjid, Bagas menghentikan langkahnya. Ia memandang mata Tyas lekat dan menggenggam jemarinya erat. “Aku selalu berharap bisa menyuntingmu menjadi istriku. Meskipun aku terlambat tiga puluh tahun. Anantyas Dewi maukah kamu menerima Bagas Wibisono sebagai suamimu?”

           Tyas tampak terperangah dan tidak bicara sepatah katapun. Namun pelukannya yang erat di tubuh Bagas menandakan ia menerima lamaran itu.

           Di bawah sinar matahari sore, mereka berdoa agar diberi banyak waktu untuk menikmati cinta di kala senja. Mereka tahu cinta mereka tidak mudah tapi bagaikan Kota Lama yang bertahan untuk tidak tergerus kemajuan zaman, seperti itulah mereka akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama.

           Satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Namun, waktu membuktikan cinta sejati tidak pernah mati.

 

"Ana Westy, 22-11-2010"

GELAP

            Lagi dan lagi.

Jadwal kunjungan Reno ke rumah sakit setiap hari rabu terus berulang. Dimulai sejak beberapa bulan yang lalu—saat hobi balap liarnya hampir saja merenggut nyawanya. Ia selamat dari maut meskipun harus kehilangan penglihatannya.

Tentu saja. Ini adalah mimpi buruk bagi Reno. Bukan satu-dua kali ia pernah mencoba bunuh diri. Kalau saja Ayahnya tidak mencegah dan menyemangatinya bahwa akan selalu ada donor mata untuknya serta tangis Ibunya yang memohonnya untuk tetap hidup—Reno mungkin hanya tinggal nama saat ini.

Rumah Sakit Khusus Mata di Cicendo—Bandung ini selalu menyuguhinya perasaan yang sama. Setengah dirinya menerima kenyataan itu dan setengahnya lagi menyangkalnya.

Siang itu Reno sedang terkantuk-kantuk di bangku ruang tunggu ketika seorang laki-laki yang duduk di sampingnya berdehem dan terbatuk-batuk.   

“Anak muda, bisakah kau tolong aku?” Suara berat dan dalam milik laki-laki itu menyentakkan Reno dari posisinya yang bersandar di kursi.

”Tolong apa ya, Pak?” Jawab Reno acuh tak acuh.

”Aku merasa sesak nafas tapi dari tadi aku tidak juga menemukan obatku. Bisakah kau membantu aku mencarikannya dalam tas ini.”

Reno bisa merasakan sebuah benda menyentuh pahanya. Sepertinya tas milik laki-laki itu disodorkan kepadanya.

”Apa ini?” Reno memalingkan wajah dan menelengkan kepalanya ke kanan meski ia tahu ia tidak akan bisa melihat laki-laki itu. ”Aku tidak bisa membantumu, Pak Tua.” Reno mendengus kesal.

”Kenapa?” Seru laki-laki itu. ”Tenang saja. Tidak ada barang berharga di dalamnya.”       

”Sama saja. Aku tetap tidak bisa membantumu karena aku tidak bisa melihat. Mengerti!” Nada bicara Reno bercampur emosi.

Dari tangkapan inderanya yang masih berfungsi, Reno tahu hanya ada dia dan Bapak Tua itu di ruang tunggu. Ia hanya ingin memastikan. Setidaknya ia tidak perlu khawatir akan ada orang yang melabraknya karena ketidaksopanannya.

”Maafkan aku anak muda. Aku tidak tahu kondisimu,” ujar laki-laki itu dengan rendah hati.

Reno menghela nafas dalam. ”Bapak pikir untuk apa saya ada disini.” Egonya mulai melemah karena permintaan maaf laki-laki itu.

”Apakah kau akan dioperasi?”

”Tidak. Saya hanya konsultasi rutin. Bapak sendiri?”

”Aku mendapatkan donor mata. Hari ini mereka akan menentukan jadwal operasinya,” sahut laki-laki itu.

”Selamat ya, Pak. Saya iri dengan Bapak. Bapak sungguh beruntung,” ungkap Reno.

”Tidak seperti yang kau bayangkan, nak.”

Laki-laki itu menahan kata-katanya dan berdehem keras seolah dengan begitu tenggorokannya akan terasa lega. Reno sudah ingin bertanya namun niatnya terpaksa diurungkan karena laki-laki itu bicara lagi.

Sudah lama?” tanyanya.

”Apanya yang sudah lama? Cetus Reno.

”Kebutaanmu?”

”Belum lama. Sejak dua bulan yang lalu.”

 Hening.

Mereka sama-sama membisu selama beberapa menit. Laki-laki itu masih sibuk mencari obat pereda sesak nafas di dalam tas kumalnya. Sementara Reno hanya berdiam diri dan gelisah dengan kesendiriannya.     

Ketika laki-laki itu sudah menemukan obat yang dimaksud dan menenggaknya dengan sekali tegukan, ia berkata lagi. “Sadarkah kau bahwa kau lebih beruntung dari aku?”

“Dalam hal apa?” tanya Reno ketus.

“Kau sudah pernah melihat sebelumnya” Laki-laki itu menahan kata-katanya. ”Lalu kau tak bisa melihat lagi karena kesalahanmu sendiri.”

”Memangnya kenapa kalau begitu? Sekarang aku buta. Itu kenyataannya,” nada bicara Reno berubah sinis.

“Bandingkan denganku! tegas laki-laki itu. ”Aku terlahir buta dan semua adalah takdir Maha Kuasa. Bisakah aku menyalahkan sang pencipta?” seru laki-laki itu retoris. ”Lama sekali hingga akhirnya aku tahu bahwa orang-orang sepertiku memang sengaja diciptakan.”

 ”Maksud Bapak?” Reno yang sedari tadi mengabaikan laki-laki itu tiba-tiba tertarik dengan pernyataannya.

”Kalau tidak ada orang-orang seperti aku, maka banyak manusia yang tidak menyadari bahwa mata, telinga, mulut, dan indera lainnya yang mereka miliki begitu berharga sehingga harus dipergunakan dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya orang-orang seperti aku, mereka yang normal bisa belajar bahwa ketidaksempurnaanlah yang menjadikan hidup ini indah. Karena dengan berbagi manusia bisa merasakan esensinya di dunia ini.”

”Mungkin orang lain bisa begitu. Tapi aku sendiri tidak merasa ada hal baik yang kudapatkan karena aku tidak bisa melihat.”

”Begitukah? Kau yakin?”

”Tentu saja.” Reno terganggu dengan pernyataan itu.

Laki-laki itu menggumam. ”Baiklah. Coba jawab aku? Sejak kau tidak bisa melihat, indera apa yang kau andalkan.”

”Mmm...pendengaran...penciuman...” Jawab Reno ragu-ragu. ”Instingku juga menjadi lebih tajam. Kadang aku seperti melihat terang di dalam gelap.” Reno berfilosofi.  

”Apakah kau mendapatkan perhatian lebih dari kedua orangtuamu?”

Reno mengernyitkan dahi. ”Iya. Sekarang hampir setiap hari mereka ada di rumah. Dulu bisa ketemu sebulan sekali juga sudah bagus.”

“Apakah ada sikap teman-temanmu yang berubah?”

”Ya...beberapa orang memang berubah. Mereka sulit sekali kalau dimintai tolong tapi masih ada seorang sahabat yang setia.”

”Bagaimana dengan pacarmu?”

Reno terhenyak. Ia sebenarnya tidak suka pertanyaan seperti ini datang dari orang yang tidak dikenalnya—ralat—baru dikenalnya—tapi ia jawab juga pertanyaan itu.

”Dia meninggalkan aku.” Reno menggigit bibirnya. ”Tapi beberapa minggu berikutnya datang seorang gadis sederhana yang memberikan perhatian dengan tulus. Seseorang yang kucampakkan di masa lalu.”

“Apa hal-hal tersebut tidak bisa dianggap baik?” Laki-laki itu bicara sambil duduk dengan tangan bertumpu pada tongkatnya. ”Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian bagi yang siapapun yang berusaha mencari tahu,” serunya lagi.

Reno mengetukkan jarinya ke bangku tanda ia sedang gelisah. ”Meski begitu, aku seringkali berharap. Seandainya aku lebih berhati-hati, seandainya mereka tidak menyalip mobilku. Seandainya...

Laki-laki itu memotong perkataan Reno. ”Tidak ada gunanya meratapi yang sudah terjadi. Karena waktu tak akan bisa diputarbalikkan.”

”Tapi berandai-andai adalah cara yang paling ampuh untuk meredakan perasaan marahku,” bantah Reno.

Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Dalam hidup ini kita tidak hanya perlu terampil memilih tapi juga memilah. Kadangkala kau harus lebih sering menundukkan kepalamu dan melihat ke bawah sehingga kau dapat menemukan bahwa kau berkali-kali lebih beruntung. Kau mungkin kehilangan penglihatanmu tapi kau masih punya keluarga, kehidupan yang berkecukupan, dan juga masa depan.”

Reno mengangguk mengamini perkataan laki-laki itu. ”Memang. Sayangnya merasa cukup itu sulit tapi menginginkan lebih itu mudah.”

”Maka lihatlah aku, nak.” Laki-laki itu terbatuk-batuk lagi. ”Aku ini tua, sebatang kara, penyakitan, tapi aku masih punya harapan yang membuatku bertahan hidup. Aku ingin dapat melihat. Meskipun itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya,” ungkap laki-laki tua itu sendu.      

”Kenapa Bapak datang sendiri? Istri Bapak? Anak Bapak? Apakah tidak ada yang mengantar Bapak?” Reno memberondong laki-laki tua itu dengan pertanyaan.

”Istriku sudah lama meninggal.” Suara laki-laki itu seketika berubah lirih. ”Dan anakku baru saja menyusul Ibunya dua bulan yang lalu meninggal karena ditabrak mobil. Mata yang akan didonorkan kepadaku adalah matanya. Ironis bukan!” Kini tangis terdengar dalam setiap kata yang terucap oleh laki-laki itu.

”Saya turut bersedih, Pak. Semoga Bapak diberikan kekuatan.” Reno menyentuh pundak laki-laki tua itu dan mengusapnya perlahan. ”Lalu bagaimana dengan si penabrak? Apa dia tidak bertanggung jawab?”

”Orang yang menabrak anak saya itu juga terluka parah. Tapi sepertinya orang-orang lebih mempedulikan pemuda kaya itu daripada anak saya yang cuma pedagang asongan.”

 ”Pemuda itu harus bertanggung jawab, Pak. Bagaimanapun kondisinya.”

”Tentu saja.” Laki-laki itu berdehem lagi. ”Jika nanti mataku bisa melihat maka pemilik mobil sedan dengan plat R 3 NO adalah hal yang ingin kulihat untuk pertama kalinya. Seseorang yang membantu mengurus mayat anakku yang mengatakannya. Aku sungguh ingin membuat perhitungan dengannya,” sahut laki-laki tua itu dengan penuh keyakinan.

Suara perawat yang memanggil laki-laki tua itu memotong pembicaraan mereka.

”Saya masuk dulu, Nak. Senang bicara denganmu. Sampai bertemu lagi.” Laki-laki itu menepuk lengan Reno sebelum menghampiri perawat yang memanggilnya.

Reno mengangguk lalu menelan ludah. Sepeninggal laki-laki tua itu, ia berpikir keras. Mungkin saja ada beberapa mobil dengan plat nomor kendaraan yang mirip dengannya. Tapi Reno sangat yakin di Bandung ini, hanya dia yang menggunakan plat nomor kendaraan yang sesuai dengan namanya itu.

Seketika Reno merasa pusing. Kegelapan yang dirasakannya menjadi semakin pekat. Tak ia temukan lagi terang dalam gelapnya. Ia hanya bisa merasakan kegelapan menariknya semakin dalam.

*Terbit di Tribun Jabar, 9 Januari 2009

Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan


PENGUMUMAN BANTUAN PEMERINTAH BIDANG KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN: PENGUATAN KOMUNITAS SASTRA TAHUN ANGGARAN 2023

Pada Tahun 2023, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra memberikan Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra di wilayah Indonesia. Bantuan Pemerintah yang diselenggarakan berupa Fasilitasi dan Penghargan yang akan diberikan kepada Komunitas Sastra dan perseorangan dalam sumbangsihnya untuk mengembangkan komunitas sastra di wilayahnya.

Calon penerima Bantuan atau pemohon harus melakukan registrasi melalui tautan pendaftaran berikut https://spiritpusbanglin.kemdikbud.go.id/regbanpem.php

Informasi detail mengenai penyelenggaraan Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra Tahun Anggaran 2023 dapat dicermati dalam tautan Keputusan Kepala Badan Bahasa di bawah ini. (unduh lampiran juknis keputusan Kepala Badan Bahasa)

Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, calon penerima Bantuan atau pemohon dapat menghubungi nomor 0821-4000-9935 melalui WhatsApp.


Sekretariat Bantuan Pemerintah Bidang Kebahasaan dan Kesastraan: Penguatan Komunitas Sastra Tahun 2023
Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kawasan Indonesia Peace and Security Centre (IPSC)
Jalan Anyar Km. 4, Tangkil, Citeureup
Kabupaten Bogor, Jawa Barat


 

SINGKAWANG : KOTA TERTOLERAN

               Please free to read and download thisbook ^_^                               https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?i...