Minggu, 27 Januari 2013
Rumah Tangga Tanpa Kehadiran Anak
Setelah
sekian lama saya coba untuk mencari artikel tentang alasan menunda
kehamilan di Indonesia, namun baru beberapa hari yang lalu saya
menemukan isi artikel yang bisa menjawab sebagian besar pertanyaan yang
ada di otak saya. Artikel tersebut secara garis besar menggambarkan
beragam kondisi perkawinan tanpa anak dengan ulasan yang menarik. Untuk
lebih lengkapnya silahkan baca artikel yang berjudul "Tetap mesra tanpa anak".
Di Indonesia,
jika menanyakan kepada orang lain perlukah sebuah rumah tangga memiliki
anak, maka hampir semuanya menjawab perlu dan mungkin wajib. Jadi kalau
kemudian ada yang jawabannya tidak wajib atau sekedar untuk menunda
(kehamilan) saja, lantas menjadi aneh. Lain halnya kalau saya coba
menelusuri informasinya melalui internet,
bagi masyarakat di luar negeri memang masih banyak yang menganggap
perlunya anak, tapi mencari pasangan yang terang-terangan memutuskan
menunda kehamilan atau tidak memiliki anak itu masih mudah ditemukan.
Berikut ini saya coba kutip sedikit dari artikel yang saya baca : "Ada dua tipe pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak. Pertama, pasangan suami-istri yang memang tidak bisa memiliki anak secara biologis karena secara medis tidak subur (infertil). Kedua, pasangan suami-istri yang memang memilih tidak memiliki anak, sekalipun keduanya sehat secara medis."
Untuk waktu selama lima tahun terakhir, maka saya dan suami (kami) menganggap bahwa kami adalah tipe pasangan yang kedua. Walau belum terbukti kami merupakan pasangan subur, namun menunda kehamilan, kami lakukan dengan sadar dan sengaja. Kami mengandalkan KB kalender karena kebetulan kami berdua lulusan Biologi yang sedikit paham mengenai perhitungan masa subur wanita. Hal tersebut kami jalani, meski kami sadar beberapa konsekuensi dari menunda kehamilan, seperti: masa subur akan berkurang seiring dengan pertambahan usia yang artinya kesempatan memiliki anak menjadi berkurang dibandingkan usia muda (usia 20-an); dan pertimbangan ekonomi ketika kami tua dengan masa pendidikan anak yang relatif masih dini.
Saat ini kami mengalami, masa aktif "alasan menunda anak" telah habis atau kerennya sudah expired date, yang berarti kami sudah menyelesaikan pendidikan kami, mulailah tekanan itu hadir. Tekanan disini maksudnya ketakutan orang lain bahwa rumah tangga menjadi tidak bahagia tanpa kehadiran anak, atau ketakutan karena wanita menjadi mudah depresi dan minder dari ketidaksempurnaannya. Bentuk tekanan sosial yang hadir antara lain: tuntutan untuk memeriksa kesehatan kandungan, sel telur dan sel sperma; sampai komentar yang memberi contoh dan membandingkan dengan orang-orang yang telah berhasil mempunyai keturunan.
Pendapat bahwa keluarga yang lengkap adalah yang telah memiliki anak sudah lazim ditemukan. Namun, saya juga pernah menemukan bahwa sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasangan menikah tanpa anak itu lebih bahagia dibandingkan yang sudah memilikinya (kalau ini saya pikir tergantung dari budaya negara dimana penelitian dilakukan). Juga jangan pula menjadi kasihan kepada pasangan yang tidak atau belum memiliki anak.
Entah kenapa kita harus menghormati dan mempertimbangkan tekanan yang datangnya dari orang lain atau bahkan orang terdekat, lebih tepatnya menjaga perasaan mereka. Padahal kami masih santai-santai saja mengenai urusan ketidakhadiran anak dalam rumah tangga, justru yang terlihat panik adalah mereka. Pada saat inilah, komunikasi dan kekompakkan dari sebuah pasangan berperan besar untuk tetap menjaga kemesraan dalam rumah tangga. Sebab terkadang tekanan itu datang dengan tiba-tiba dan dengan gaya bahasa yang beraneka ragam.
Saya masih belum mendapat jawaban tentang alasan yang tepat untuk memiliki anak, setidaknya dalam rumah tangga saya. Mungkin saya sedang galau, namun saya lebih menikmati istilah "mencari jawaban" dibandingkan galau. Kalau galau kok ya bertahun-tahun. Hehe...Kalau kemudian terlintas pikiran bahwa hidup tua nantinya kemudian menggantungkan kepada anak, rasanya seperti egoisme tingkat tinggi. Sulit bagi saya menerima itu. Memang saya belum pernah tua dan punya anak, tapi sampai saat ini saya merasa begitu banyak menikmati hidup bersama pasangan saya dan menjalankan banyak hal yang menyenangkan, ditambah kami tetap (dan selalu) mesra meski tanpa anak (setidaknya ini menurut saya). Selain itu, saya juga dapat mencapai banyak hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika pada kesempatan tertentu tersebut mungkin sedang memiliki anak.
Untuk menyuruh diam orang lain tentang keadaaan kami yang tanpa anak, rasanya tidak mungkin. Lebih baik menyiapkan diri untuk menanggapi mereka secara wajar. Sangat jarang yang dapat memahami kami. Saya memang belum bisa memahami keadaan orang yang sangat mengharapkan kehadiran anak kemudian mereka harus menjawab pertanyaan orang yang bertanya hal klise tersebut. Saya pikir, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan agar tetap produktif daripada berkutat memikirkan pertanyaan atau tanggapan orang tentang pernikahan kami yang masih tanpa anak, termasuk menulis blog ini. Mungkin sekilas nampak seperti curahan hati, namun sebenernya saya berusaha mengulas lebih dalam, lalu mencoba menyumbang tulisan tentang pernikahan tanpa anak berdasarkan pandangan saya.
Saya ingin sekali mengungkapkan bahwa anak adalah anak, sama saja dari mana pun. Tak perlu dari hasil biologis, kita bisa membesarkan anak yang bukan dari darah daging kita. Banyak anak yang perlu diperhatikan, lalu mengapa harus dari rahim sendiri?...
Saya berpikir, jika ada seseorang yang bisa menganggap dan memperlakukan seluruh anak di dunia ini dengan baik, sama seperti membesarkan anak kandung (bisa dalam bentuk dukungan moral (kasih sayang) dan atau dukungan material), maka itulah pencapaian hidup yang paling mulia. Mungkin saya aneh, tapi begitulah....
Berikut ini saya coba kutip sedikit dari artikel yang saya baca : "Ada dua tipe pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak. Pertama, pasangan suami-istri yang memang tidak bisa memiliki anak secara biologis karena secara medis tidak subur (infertil). Kedua, pasangan suami-istri yang memang memilih tidak memiliki anak, sekalipun keduanya sehat secara medis."
Untuk waktu selama lima tahun terakhir, maka saya dan suami (kami) menganggap bahwa kami adalah tipe pasangan yang kedua. Walau belum terbukti kami merupakan pasangan subur, namun menunda kehamilan, kami lakukan dengan sadar dan sengaja. Kami mengandalkan KB kalender karena kebetulan kami berdua lulusan Biologi yang sedikit paham mengenai perhitungan masa subur wanita. Hal tersebut kami jalani, meski kami sadar beberapa konsekuensi dari menunda kehamilan, seperti: masa subur akan berkurang seiring dengan pertambahan usia yang artinya kesempatan memiliki anak menjadi berkurang dibandingkan usia muda (usia 20-an); dan pertimbangan ekonomi ketika kami tua dengan masa pendidikan anak yang relatif masih dini.
Dibalik penundaan
itu, sebuah komitmen untuk satu suara antara istri-suami adalah
keharusan. Jika hal ini tidak dibicarakan dengan baik, tentunya akan
berpengaruh secara psikologis terhadap salah satu pihak. Hal yang perlu
dibicarakan lagi adalah mengenai kekompakkan menghadapi orang lain atau
memberi alasan, baik itu kepada orangtua sendiri, saudara, teman atau
orang lain. Misalnya jika menghadapi pertanyaan (seperti: sudah punya
anak belum? kenapa menunda? sudah periksa ke dokter?), atau tanggapan colongan-maksudnya
tidak diminta pendapatnya tetapi orang tersebut tetap bicara (seperti:
"coba ke dokter A atau ke pengobatan alternatif B"; "enak lho punya
anak, ada mainan baru"; "jangan karir terus, jangan takut rejeki anak mah ada aja lho").
Bila kematangan berpikir tidak dimiliki pasangan istri-suami dalam menghadapi pertanyaan dan tanggapan dari orang lain, maka tidak jarang yang akan dirasakan adalah tersinggung atau sakit hati bahkan hingga stres dan depresi.
Dalam hal ini, tentu saja kami menyiapkan alasan yang dapat diterima oleh orang yang pertama kami hargai yaitu orang tua (kalau untuk orang lain sih, saya tidak ambil pusing). Pendidikan adalah alasan yang paling tepat, sebab jika kita coba memberi alasan untuk mengejar karir, wah...ini masih aneh buat mereka. Terlebih jika mereka sangat mengharapkan cucu pertama.
Pasalnya, kebanyakan bagi orang lain atau mungkin bisa dikatakan bagi mereka yang konservatif, untuk memiliki anak adalah semacam kodrat manusia dan wajib, dengan alasan untuk meneruskan keturunan atau lebih jauhnya mungkin demi alasan kelangsungan makhluk hidup di dunia (yang ini alasan yang futuristic sih). Selain itu juga karena alasan (bagi yang percaya) untuk bekal setelah kematian melalui doa anak. Tak sedikit bahkan yang takut menghadapi kematiannya sendiri, dengan anak diharapkan dapat menjadi penuntun menjumpai ajal dengan jalan yang indah. Anak dianggap memberi banyak arti bagi kehidupan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.
Peradaban menunjukkan bahwa memiliki anak pasti hal yang menyenangkan atau menguntungkan, buktinya banyak yang melakukan hal itu secara turun temurun. Kecuali alasan ekonomi (seperti di Jepang), atau bagi orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu dengan menahan hawa nafsunya untuk kebaikan diri dan bumi atau dengan kata lain: "ketika memutuskan tidak mempunyai anak, mereka (baca: pasangan tanpa anak) memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Bisa berupa pekerjaan atau aktivitas mereka sangat berharga sehingga lebih baik mereka tidak mempunyai keturunan. Atau, idealisme yang mereka perjuangkan benar-benar bermakna sehingga mereka mengenyampingkan kesenangan pribadi".
Bila kematangan berpikir tidak dimiliki pasangan istri-suami dalam menghadapi pertanyaan dan tanggapan dari orang lain, maka tidak jarang yang akan dirasakan adalah tersinggung atau sakit hati bahkan hingga stres dan depresi.
Dalam hal ini, tentu saja kami menyiapkan alasan yang dapat diterima oleh orang yang pertama kami hargai yaitu orang tua (kalau untuk orang lain sih, saya tidak ambil pusing). Pendidikan adalah alasan yang paling tepat, sebab jika kita coba memberi alasan untuk mengejar karir, wah...ini masih aneh buat mereka. Terlebih jika mereka sangat mengharapkan cucu pertama.
Pasalnya, kebanyakan bagi orang lain atau mungkin bisa dikatakan bagi mereka yang konservatif, untuk memiliki anak adalah semacam kodrat manusia dan wajib, dengan alasan untuk meneruskan keturunan atau lebih jauhnya mungkin demi alasan kelangsungan makhluk hidup di dunia (yang ini alasan yang futuristic sih). Selain itu juga karena alasan (bagi yang percaya) untuk bekal setelah kematian melalui doa anak. Tak sedikit bahkan yang takut menghadapi kematiannya sendiri, dengan anak diharapkan dapat menjadi penuntun menjumpai ajal dengan jalan yang indah. Anak dianggap memberi banyak arti bagi kehidupan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.
Peradaban menunjukkan bahwa memiliki anak pasti hal yang menyenangkan atau menguntungkan, buktinya banyak yang melakukan hal itu secara turun temurun. Kecuali alasan ekonomi (seperti di Jepang), atau bagi orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu dengan menahan hawa nafsunya untuk kebaikan diri dan bumi atau dengan kata lain: "ketika memutuskan tidak mempunyai anak, mereka (baca: pasangan tanpa anak) memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Bisa berupa pekerjaan atau aktivitas mereka sangat berharga sehingga lebih baik mereka tidak mempunyai keturunan. Atau, idealisme yang mereka perjuangkan benar-benar bermakna sehingga mereka mengenyampingkan kesenangan pribadi".
Saat ini kami mengalami, masa aktif "alasan menunda anak" telah habis atau kerennya sudah expired date, yang berarti kami sudah menyelesaikan pendidikan kami, mulailah tekanan itu hadir. Tekanan disini maksudnya ketakutan orang lain bahwa rumah tangga menjadi tidak bahagia tanpa kehadiran anak, atau ketakutan karena wanita menjadi mudah depresi dan minder dari ketidaksempurnaannya. Bentuk tekanan sosial yang hadir antara lain: tuntutan untuk memeriksa kesehatan kandungan, sel telur dan sel sperma; sampai komentar yang memberi contoh dan membandingkan dengan orang-orang yang telah berhasil mempunyai keturunan.
Pendapat bahwa keluarga yang lengkap adalah yang telah memiliki anak sudah lazim ditemukan. Namun, saya juga pernah menemukan bahwa sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasangan menikah tanpa anak itu lebih bahagia dibandingkan yang sudah memilikinya (kalau ini saya pikir tergantung dari budaya negara dimana penelitian dilakukan). Juga jangan pula menjadi kasihan kepada pasangan yang tidak atau belum memiliki anak.
Entah kenapa kita harus menghormati dan mempertimbangkan tekanan yang datangnya dari orang lain atau bahkan orang terdekat, lebih tepatnya menjaga perasaan mereka. Padahal kami masih santai-santai saja mengenai urusan ketidakhadiran anak dalam rumah tangga, justru yang terlihat panik adalah mereka. Pada saat inilah, komunikasi dan kekompakkan dari sebuah pasangan berperan besar untuk tetap menjaga kemesraan dalam rumah tangga. Sebab terkadang tekanan itu datang dengan tiba-tiba dan dengan gaya bahasa yang beraneka ragam.
Saya masih belum mendapat jawaban tentang alasan yang tepat untuk memiliki anak, setidaknya dalam rumah tangga saya. Mungkin saya sedang galau, namun saya lebih menikmati istilah "mencari jawaban" dibandingkan galau. Kalau galau kok ya bertahun-tahun. Hehe...Kalau kemudian terlintas pikiran bahwa hidup tua nantinya kemudian menggantungkan kepada anak, rasanya seperti egoisme tingkat tinggi. Sulit bagi saya menerima itu. Memang saya belum pernah tua dan punya anak, tapi sampai saat ini saya merasa begitu banyak menikmati hidup bersama pasangan saya dan menjalankan banyak hal yang menyenangkan, ditambah kami tetap (dan selalu) mesra meski tanpa anak (setidaknya ini menurut saya). Selain itu, saya juga dapat mencapai banyak hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika pada kesempatan tertentu tersebut mungkin sedang memiliki anak.
Untuk menyuruh diam orang lain tentang keadaaan kami yang tanpa anak, rasanya tidak mungkin. Lebih baik menyiapkan diri untuk menanggapi mereka secara wajar. Sangat jarang yang dapat memahami kami. Saya memang belum bisa memahami keadaan orang yang sangat mengharapkan kehadiran anak kemudian mereka harus menjawab pertanyaan orang yang bertanya hal klise tersebut. Saya pikir, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan agar tetap produktif daripada berkutat memikirkan pertanyaan atau tanggapan orang tentang pernikahan kami yang masih tanpa anak, termasuk menulis blog ini. Mungkin sekilas nampak seperti curahan hati, namun sebenernya saya berusaha mengulas lebih dalam, lalu mencoba menyumbang tulisan tentang pernikahan tanpa anak berdasarkan pandangan saya.
Saya ingin sekali mengungkapkan bahwa anak adalah anak, sama saja dari mana pun. Tak perlu dari hasil biologis, kita bisa membesarkan anak yang bukan dari darah daging kita. Banyak anak yang perlu diperhatikan, lalu mengapa harus dari rahim sendiri?...
Saya berpikir, jika ada seseorang yang bisa menganggap dan memperlakukan seluruh anak di dunia ini dengan baik, sama seperti membesarkan anak kandung (bisa dalam bentuk dukungan moral (kasih sayang) dan atau dukungan material), maka itulah pencapaian hidup yang paling mulia. Mungkin saya aneh, tapi begitulah....