Minggu, 11 Januari 2015

I'm So Happy and Grateful Found This Article! Thanks to Yanu Aryani

Minggu, 27 Januari 2013


Rumah Tangga Tanpa Kehadiran Anak

Setelah sekian lama saya coba untuk mencari artikel tentang alasan menunda kehamilan di Indonesia, namun baru beberapa hari yang lalu saya menemukan isi artikel yang bisa menjawab sebagian besar pertanyaan yang ada di otak saya. Artikel tersebut secara garis besar menggambarkan beragam kondisi perkawinan tanpa anak dengan ulasan yang menarik. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca artikel yang berjudul "Tetap mesra tanpa anak"

Di Indonesia, jika menanyakan kepada orang lain perlukah sebuah rumah tangga memiliki anak, maka hampir semuanya menjawab perlu dan mungkin wajib. Jadi kalau kemudian ada yang jawabannya tidak wajib atau sekedar untuk menunda (kehamilan) saja, lantas menjadi aneh. Lain halnya kalau saya coba menelusuri informasinya melalui internet, bagi masyarakat di luar negeri memang masih banyak yang menganggap perlunya anak, tapi mencari pasangan yang terang-terangan memutuskan menunda kehamilan atau tidak memiliki anak itu masih mudah ditemukan. 

Berikut ini saya coba kutip sedikit dari artikel yang saya baca : "Ada dua tipe pasangan suami-istri yang tidak memiliki anak. Pertama, pasangan suami-istri yang memang tidak bisa memiliki anak secara biologis karena secara medis tidak subur (infertil). Kedua, pasangan suami-istri yang memang memilih tidak memiliki anak, sekalipun keduanya sehat secara medis." 


Untuk waktu selama lima tahun terakhir, maka saya dan suami (kami) menganggap bahwa kami adalah tipe pasangan yang kedua. Walau belum terbukti kami merupakan pasangan subur, namun menunda kehamilan, kami lakukan dengan sadar dan sengaja. Kami mengandalkan KB kalender karena kebetulan kami berdua lulusan Biologi yang sedikit paham mengenai perhitungan masa subur wanita. Hal tersebut kami jalani, meski kami sadar beberapa konsekuensi dari menunda kehamilan, seperti: masa subur akan berkurang seiring dengan pertambahan usia yang artinya kesempatan memiliki anak menjadi berkurang dibandingkan usia muda (usia 20-an); dan pertimbangan ekonomi ketika kami tua dengan masa pendidikan anak yang relatif masih dini.


Dibalik penundaan itu, sebuah komitmen untuk satu suara antara istri-suami adalah keharusan. Jika hal ini tidak dibicarakan dengan baik, tentunya akan berpengaruh secara psikologis terhadap salah satu pihak. Hal yang perlu dibicarakan lagi adalah mengenai kekompakkan menghadapi orang lain atau memberi alasan, baik itu kepada orangtua sendiri, saudara, teman atau orang lain. Misalnya jika menghadapi pertanyaan (seperti: sudah punya anak belum? kenapa menunda? sudah periksa ke dokter?), atau tanggapan colongan-maksudnya tidak diminta pendapatnya tetapi orang tersebut tetap bicara (seperti: "coba ke dokter A atau ke pengobatan alternatif B"; "enak lho punya anak, ada mainan baru"; "jangan karir terus, jangan takut rejeki anak mah ada aja lho"). 

Bila kematangan berpikir tidak dimiliki pasangan istri-suami dalam menghadapi pertanyaan dan tanggapan dari orang lain, maka tidak jarang yang akan dirasakan adalah tersinggung atau sakit hati bahkan hingga stres dan depresi.

Dalam hal ini, tentu saja kami menyiapkan alasan yang dapat diterima oleh orang yang pertama kami hargai yaitu orang tua (kalau untuk orang lain sih, saya tidak ambil pusing). Pendidikan adalah alasan yang paling tepat, sebab jika kita coba memberi alasan untuk mengejar karir, wah...ini masih aneh buat mereka. Terlebih jika mereka sangat mengharapkan cucu pertama. 

Pasalnya, kebanyakan bagi orang lain atau mungkin bisa dikatakan bagi mereka yang konservatif, untuk memiliki anak adalah semacam kodrat manusia dan wajib, dengan alasan untuk meneruskan keturunan atau lebih jauhnya mungkin demi alasan kelangsungan makhluk hidup di dunia (yang ini alasan yang futuristic sih). Selain itu juga karena alasan (bagi yang percaya) untuk bekal setelah kematian melalui doa anak. Tak sedikit bahkan yang takut menghadapi kematiannya sendiri, dengan anak diharapkan dapat menjadi penuntun menjumpai ajal dengan jalan yang indah. Anak dianggap memberi banyak arti bagi kehidupan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.

Peradaban menunjukkan bahwa memiliki anak pasti hal yang menyenangkan atau menguntungkan, buktinya banyak yang melakukan hal itu secara turun temurun. Kecuali alasan ekonomi (seperti di Jepang), atau bagi orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu dengan menahan hawa nafsunya untuk kebaikan diri dan bumi atau dengan kata lain: "ketika memutuskan tidak mempunyai anak, mereka (baca: pasangan tanpa anak) memiliki alasan yang masuk akal dan kuat. Bisa berupa pekerjaan atau aktivitas mereka sangat berharga sehingga lebih baik mereka tidak mempunyai keturunan. Atau, idealisme yang mereka perjuangkan benar-benar bermakna sehingga mereka mengenyampingkan kesenangan pribadi".

Saat ini kami mengalami, masa aktif "alasan menunda anak" telah habis atau kerennya sudah expired date, yang berarti kami sudah menyelesaikan pendidikan kami, mulailah tekanan itu hadir. Tekanan disini maksudnya ketakutan orang lain bahwa rumah tangga menjadi tidak bahagia tanpa kehadiran anak, atau ketakutan karena wanita menjadi mudah depresi dan minder dari ketidaksempurnaannya. Bentuk tekanan sosial yang hadir antara lain: tuntutan untuk memeriksa kesehatan kandungan, sel telur dan sel sperma; sampai komentar yang memberi contoh dan membandingkan dengan orang-orang yang telah berhasil mempunyai keturunan.

Pendapat bahwa keluarga yang lengkap adalah yang telah memiliki anak sudah lazim ditemukan. Namun, saya juga pernah menemukan bahwa sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasangan menikah tanpa anak itu lebih bahagia dibandingkan yang sudah memilikinya (kalau ini saya pikir tergantung dari budaya negara dimana penelitian dilakukan). Juga jangan pula menjadi kasihan kepada pasangan yang tidak atau belum memiliki anak.

Entah kenapa kita harus menghormati dan mempertimbangkan tekanan yang datangnya dari orang lain atau bahkan orang terdekat, lebih tepatnya menjaga perasaan mereka. Padahal kami masih santai-santai saja mengenai urusan ketidakhadiran anak dalam rumah tangga, justru yang terlihat panik adalah mereka. Pada saat inilah, komunikasi dan kekompakkan dari sebuah pasangan berperan besar untuk tetap menjaga kemesraan dalam rumah tangga. Sebab terkadang tekanan itu datang dengan tiba-tiba dan dengan gaya bahasa yang beraneka ragam.

Saya masih belum mendapat jawaban tentang alasan yang tepat untuk memiliki anak, setidaknya dalam rumah tangga saya. Mungkin saya sedang galau, namun saya lebih menikmati istilah "mencari jawaban" dibandingkan galau. Kalau galau kok ya bertahun-tahun. Hehe...Kalau kemudian terlintas pikiran bahwa hidup tua nantinya kemudian menggantungkan kepada anak, rasanya seperti egoisme tingkat tinggi. Sulit bagi saya menerima itu. Memang saya belum pernah tua dan punya anak, tapi sampai saat ini saya merasa begitu banyak menikmati hidup bersama pasangan saya dan menjalankan banyak hal yang menyenangkan, ditambah kami tetap (dan selalu) mesra meski tanpa anak (setidaknya ini menurut saya). Selain itu, saya juga dapat mencapai banyak hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika pada kesempatan tertentu tersebut mungkin sedang memiliki anak.

Untuk menyuruh diam orang lain tentang keadaaan kami yang tanpa anak, rasanya tidak mungkin. Lebih baik menyiapkan diri untuk menanggapi mereka secara wajar. Sangat jarang yang dapat memahami kami. Saya memang belum bisa memahami keadaan orang yang sangat mengharapkan kehadiran anak kemudian mereka harus menjawab pertanyaan orang yang bertanya hal klise tersebut. Saya pikir, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan agar tetap produktif daripada berkutat memikirkan pertanyaan atau tanggapan orang tentang pernikahan kami yang masih tanpa anak, termasuk menulis blog ini. Mungkin sekilas nampak seperti curahan hati, namun sebenernya saya berusaha mengulas lebih dalam, lalu mencoba menyumbang tulisan tentang pernikahan tanpa anak berdasarkan pandangan saya.

Saya ingin sekali mengungkapkan bahwa anak adalah anak, sama saja dari mana pun. Tak perlu dari hasil biologis, kita bisa membesarkan anak yang bukan dari darah daging kita. Banyak anak yang perlu diperhatikan, lalu mengapa harus dari rahim sendiri?...

Saya berpikir, jika ada seseorang yang bisa menganggap dan memperlakukan seluruh anak di dunia ini dengan baik, sama seperti membesarkan anak kandung (bisa dalam bentuk dukungan moral (kasih sayang) dan atau dukungan material), maka itulah pencapaian hidup yang paling mulia. Mungkin saya aneh, tapi begitulah.... 

Kamis, 01 Januari 2015

Happy 1st Birthday Faza Hijab

Penjualan Faza Hijab yang sangat berkesan pada bulan kedua / Februari 2014. Seorang pelanggan baik hati yang tinggal dan bekerja di Taiwan berbelanja sebanyak Rp.1.700.000 untuk menyuplai toko baju yang dibuka oleh adiknya di Madiun. Ia mengirim uangnya langsung dari Taiwan. Satu hal yang tidak pernah terpikir atau terbayangkan oleh saya, dan ini membuktikan bahwa rezeki Allah SWT itu sungguh maha luas. Pelanggan yang satu ini juga semakin memotivasi saya untuk teguh di jalur online shop.
Pembeli berikutnya tinggal dan bekerja di Malaysia. Ia mengirim uang melalui Western Union dan meminta baju yang dibeli dikirim kepada keluarganya di Kota Singkawang.
Di era digital ini, masih ada pelanggan saya yang lebih senang melakukan pembayaran dengan Wesel Pos. Alhasil, saya pun rajin pergi ke kantor pos dan berasa anak kuliahan yang dapat kiriman dari orangtuanya ^_^.
Saya sering berpikir kapan ya saya dapat pembeli dari Papua. Alhamdulillah, akhirnya ada pembeli dari Wamena dan pengiriman sampai dengan selamat menggunakan jasa pos.
Online Shop membuat saya semakin mengenal Indonesia, akhirnya saya tahu ada Kecamatan Bulagi Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah dari pelanggan saya disana.
Wah, Indonesia itu luas ya. Pelanggan saya yang satu ini tinggal dan bekerja di Taiwan dan ia membeli beberapa baju saya untuk dikirimkan kepada keluarganya di Kec. Ulu Bongka Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Namanya unik membuat saya penasaran ingin berkunjung kesana.

KUCHING-SINGKAWANG (25 Desember 2014: Part 2)

Jalan menuju Kuching, setelah melewati Perbatasan Indonesia-Malaysia. Aspalnya mulus dan tidak bergelombang seperti di Indonesia. Pemandangannya tidak spektakuler tapi tetap membuat saya kuasa menahan kantuk.
Jalan di Kota Kuching yang luas dan asri. Berasa negara majunya bo'.
Padungan Street. Saya minta diturunkan di jalan ini sama sopir travel. Dari hasil googling dan tanya teman-teman, mereka bilang daerah ini sangat strategis karena terletak di tengah Kota Kuching jadi mudah untuk jalan-jalan keliling kota dan yang paling penting tersedia banyak budget hotel alias penginapan murah meriah.
Akhirnya setelah keluar masuk hotel, saya pun jatuh hati kepada harga kamar yang ditawarkan hotel ini yaitu 40 RM (1 RM = 3560RP). Wow, murah dan sangat terjangkau.
And i'm so happy, meskipun murah kamar 304 di Hotel Chung Hin ini menyenangkan. Jendelanya besar sehingga sinar matahari memenuhi seluruh kamar. Tempat tidurnya empuk, plus ada meja dan kursi.
Suka banget sama jendelanya. Asyiiikkkkk, ada tivi. Pas banget karena saya jalan-jalan ke Kuching sendiri. Sebagai solo traveller, tivi penting banget menghalau sepi di kamar dan menemani saat tidur.
Kamar mandinya lumayan bersih dan ada shower panas dingin plus wastafel dan cermin yang besar. Tapi tombol flush nggak jalan, alhasil itu ember berguna banget :D.
Ada AC yang berguna banget untuk mendinginkan suhu kamar. Secara, Kuching panas banget kayak di Pontianak. Suhunya sekitar 25-30 derajat gitu deh. Biang keringat saya aja sampe kambuh saking panasnya. Ada lemari juga, tapi berhubung saya cuma dua malam jadi lemarinya nggak kepake. 
Karena kamar saya di lantai 3, inilah jumlah anak tangga yang harus saya lalui :P.
Suka banget bentuk lorong di depan ruko-ruko di Jalan Padungan.
Setelah puas mengagumi kamar hotel yang fasilitasnya lengkap, nyaman, dan murah.....selanjutnya ini yang paling penting yaitu membeli nomor telepon Malaysia. Atas saran supir travel dan hasil googling, saya membeli Kartu Digi yang katanya murah buat telepon ke Indonesia. Alhamdulillah, di sebelah hotel saya supermarket jadi keluar hotel bisa langsung beli kartu.

RESOLUSI 2015

"15 THINGS TO BE A BETTER AND HAPPIER PERSON"

1. Nabung, Nabung, Nabung (Tabungan Rencana)
2. Promo dan Selling Novel "3 Women and A Guy"
3. Menulis Novel 1 Halaman Per Hari
4. HKSN di Kupang 19 s/d 21 Desember 2015
5. Travelling to Kuala Lumpur dan Singapura 24 s/d 27 Desember 2015
6. Online Shop "Faza Hijab"  From Sabang To Merauke
7. Get Married di Tanggal Cantik "15-5-2015"
8. Berbuat Baik Setiap Hari
9. Keep Healthy (Olahraga Teratur: Renang dan Hiking)
10. Hemat, Hemat, Hemat (Stop Impulsive Buyer)
11. Kredit Kendaraan Lunas
12. Mulai Kredit Rumah
13. Prepare for Ph.D and Find Scholarship
14. Rajin Nge-BLOG
15. Forgive and Forget

SINGKAWANG : KOTA TERTOLERAN

               Please free to read and download thisbook ^_^                               https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?i...